3 Desember 2013 pukul 2:42
Anda mungkin tak akan lupa foto yang ada di buku sejarah. Kalau melihat gambar hitam putih ada orang ditandu, kita langsung berpikir. Jederal Sudirman. Kini tandu tersebut diabadikan di museum Museum Satria Mandala
Lalu bagaimana dengan nasib para pemikul tandunya? Berikut tulisan tentang nasib mereka yang saya ambil dari malangraya.web.id
Perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia memang takkan pernah dilupakan rakyat.
Akan tetapi, tak banyak sosok pejuang yang bisa diingat rakyat. Djuwari (82 tahun),
barangkali satu dari sekian banyak pejuang yang terlupakan. Kakek yang
pernah memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman itu, kini masih
berkubang dalam kemiskinan.
Tepat pada peringatan proklamasi 17 Agustus, Malang Post berusaha menelusuri jejak pemanggul tandu sang Panglima Besar. Djuwariberdomisili di Dusun Goliman, Desa Parang Kecamatan BanyakanKabupaten Kediri,
kaki Gunung Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute gerilya
Panglima Besar Sudirman Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.
Dari
Malang, dusun Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam
perjalanan darat. Kabupaten Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota
Batu, melewati Kota Pare Kediri hingga menyusur Tugu Simpang Gumul ikon
Kabupaten Kediri. Terus melaju ke jurusan barat, jalur ke Dusun Goliman
tak terlalu sulit ditemukan.
Sejam melewati jalur
mendaki di pegunungan Wilis, Malang Post pun tiba di pedusunan yang
tengah diterpa kemarau. Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman
memang sangat jauh dari keramaian kota. Titik start gerilya berada di
kampung yang dikepung bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.
“Inggih
leres, kulo Djuwari, sampeyan saking pundi?” kata seorang kakek yang
tengah duduk sambil memegang tongkat di sudut rumah warga Dusun Goliman.
Melihat
sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun, yang 61
tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru
tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu
itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal
kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu Panglima Besar
itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan.
Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut
keriputnya yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga
tak kalah lusuh dibanding baju atasan.
Rumah-rumah
di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari
kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika
ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen. Sama halnya dengan
kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.
“Sing
penting wes tau manggul Jenderal, Pak Dirman. Aku manggul teko Goliman
menyang Bajulan, iku mlebu Nganjuk,” ujar suami almarhum Saminah itu
ketika ditanya balas jasa perjuangannya.
Dia
bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang
Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit
itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu
dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang
hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari
beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi
uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu.
Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto,
sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Biyen
manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu
manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo
(kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),” akunya.
Perjalanan
mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi,
dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat
karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat.
Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan
perbekalan yang dibawa.
“Teko Bajulan (Nganjuk),
aku karo sing podho mikul terus mbalik nang Goliman. Wektu iku diparingi
sewek (jarit) karo sarung,” imbuhnya.
Ayah dari
empat putra dan empat putri itu menambahkan, waktu itu, istrinya (sudah
dipanggil Tuhan setahun lalu) amat senang menerima sewek pemberian sang
Jenderal. Saking seringnya dipakai, sewek itupun akhirnya rusak,
sehingga kini Djuwari hanya tinggal mewariskan cerita kisahnya mengikuti
gerilya.
“Pak Dirman pesen, urip kuwi kudu seng rukun, karo tonggo teparo, sak desa kudu rukun kabeh,” katanya.
Dari
empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar,
hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Putra Kastawi dan Kainem itu
masih memiliki kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan. Ketika
ditanya soal periode kepemimpinan Presiden Soekarno hingga SBY, Djuwari
dengan tegas mengatakan TIDAK ADA BEDANYA
-wahyu wiguno-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar