Selasa, 10 Desember 2013

PMI BERJUANG TANPA PAMRIH

Oleh Kapten Wahyu D Phillips pada 4 April 2013 pukul 5:48

PMI BERJUANG TANPA PAMRIH
Memang pantas untuk diteladani apa yang telah pernah dilakukan oleh para pejuang, khususnya yang bergerak di barisan PMI semasa zaman revolusi fisik dan untuk diteladani oleh para generasi pemuda zaman sekarang. Biar pun perjuangan tidak di garis depan, namun, ternyata jasa-jasanya memang perlu diacungi jempol. Sifat kejuangan PMI adalah langgeng atau abadi. Bak Gunung Semeru betapa tingginya dan langgengnya pertolongan kemanusiaan PMI. Jelas bahwa secara keseluruhan motivasi PMI dalam melakukan pertolongan kepada umat manusia adalah kesediaannya yang tulus berbakti kepada nusa dan bangsa.
Demikian intisari dari makalah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Suhartono, Guru Besar Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya UGM dalam seminar yang dilaksanakan di Museum Benteng Vredeburg Senin, 7 Mei 2007. Acara tersebut mengambil tema “Peran PMI dalam Revolusi Fisik di Yogyakarta” berlangsung mulai pukul 08.30—12.00 WIB. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kejuangan PMI mempunyai kandungan nondiskriminasi yang tidak membeda-bedakan etnisitas, golongan, agama, budaya, dan lain-lain.
Seminar setengah hari ini dihadiri tidak kurang dari 75 peserta dari berbagai elemen, seperti para veteran, pendidik, pelajar, pelaku sejarah, pelaku museum, aparat pemerintah, dan lain-lain di lingkungan sekitar Yogyakarta.
Seminar kali ini juga menghadirkan seorang pelaku sejarah yang ikut mengalami sendiri perjuangan di barisan PMI khususnya di Yogyakarta, yakni Djuwariyah Suhardi. Seorang ibu rumah tangga, janda dari seorang polisi ini dengan lancarnya mengisahkan perjuangan di kala masih aktif bergerak di PMI. Pengalaman yang diutarakan kepada peserta seminar antara lain: pengalamannya di kala tahun 1948, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda. Bersama teman-temannya ia ikut membantu para pejuang mencarikan gambar Sukarno dan Muh. Hatta untuk memberi semangat kepada para pejuang. Selain itu juga membantu menolong para pejuang dan warga yang mengalami cedera akibat serangan Belanda atau memang dari penyakit yang banyak diderita saat peperangan. Perjuangan lebih fokus di Yogyakarta bagian selatan. Sehingga dia hafal betul dengan wilayah yang menjadi sepak terjangnya dan tentu saja hafal dengan rekan-rekan seperjuangan.
Ia juga menceritakan saat bergabung dengan pasukannya Pak Komarudin, seorang Komandan TNI berpangkat Letnan, yang ketika itu baru saja datang dari daerah Gombong. Kemudian mereka bersama-sama dengan pasukannya Pak Komarudin bermarkas di desa Pelem Sewu di Kesatuan Batalyon II Kompi III seksi I. Dari sinilah kemudian ia bersama dengan teman-temannya mendapat tugas baru seperti ikut menjaga kesehatan para anggota TNI, menjadi kurir, dan menjaga hubungan dengan para gerilyawan yang ada di dalam maupun di luar kota yang dikomandoi oleh Komandan SWK 101/III di bawah komando Bapak Marsudi.
Acara ini diselenggarakan oleh Museum Benteng Vredeburg, sebuah museum yang bergerak di dalam sejarah perjuangan bangsa. Selain itu kegiatan ini masih dalam rangkaiannya dengan pameran bersama museum sejarah perjuangan se-Sumatera, Jawa, dan Bali yang diselenggarakan di tempat ini pula mulai tanggal 2—7 Mei 2007 dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional.
Naskah oleh : Suwandi, Tembi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar