Selasa, 10 Desember 2013

Badan Keamanan Rakyat (BKR)

Oleh Kapten Wahyu D Phillips pada 4 April 2013 pukul 4:59

Badan Keamanan Rakyat (BKR) : Perjalanan Sejarah Perjuangan Sebagai Embrio Lahirnya Tentara Kebangsaan Serta Perannya Dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pendahuluan
Pada saat Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, negara Indonesia tidak mempunyai pemerintahan dan juga tentara. Segera sesudah proklamasi, pemerintah yang dibentuk Soekarno-Hatta menciptakan aparatur pemerintahan namun hampir tidak memperhatikan masalah pertahanan negara.
Pada saat yang sama, jutaan pemuda yang telah dimobilisir selama periode pendudukan Jepang tidak sabar menunggu untuk turut serta berperan. Namun setelah mereka menyadari bahwa kira-kira mereka tidak akan mendapatkan perintah atau mandat dari pemerintah yang sangat diharapkan, maka para pemuda itu  mengambil prakarsa dan inisiatif sendiri untuk menciptakan alat pertahanan bagi negara Republik Indonesia yang baru lahir.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa para pemuda telah turun tangan untuk mengisi kekosongan suatu alat pertahanan dengan cara membentuk organisasi-organisasi perjuangan yang dikenal bernama “lasykar”, namun mereka tidak mempunyai senjata, tidak terlatih, tidak berdisiplin dan tidak memiliki pimpinan yang berpengalaman. Selain itu, mereka seringkali berselisih paham dengan pemerintahan Soekarno dan tidak mau menerima perintah dari pimpinan nasional yang tidak bersikap tegas dalam menentang pendaratan pasukan-pasukan Sekutu dan Belanda, kemudian yang berusaha menekan semangat mereka untuk bertindak.[1]
Oleh sebab itu, pemerintah harus menciptakan sebuah pasukan bersenjata yang dapat membantu menegakkan kekuasaannya di dalam negeri. Pada prinsipnya sudah diakui perlunya sebuah tentara : dalam kabinet ada portepel untuk pertahanan.[2] Namun, karena ada kemungkinan bahwa tentara pendukung Jepang akan berkeberatan mengingat pihak Jepang secara resmi masih bertanggung jawab atas pemeliharaan ketertiban umum, maka Soekarno tidak mengangkat seorang Menteri Pertahanan.
Kemudian PPKI pada tanggal 22 Agustus 1945 mengumumkan terbentuknya sebuah “Badan Penolong Keluarga Korban Perang” yang secara keorganisasian mencakup sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Di dalam undang-undang pembentukannya, fungsi BKR secara samar-samar disebutkan sebagai “memelihara keamanan bersama-sama dengan rakyat dan badan-badan negara yang bersangkutan”.[3]
Dalam pidatonya, Presiden Soekarno mengajak pemuda-pemuda mantan PETA, Heiho, dan pemuda lainnya untuk sementara waktu bergabung dan bekerja di dalam BKR dan bersiap-siap untuk dipanggil menjadi prajurit tentara kebangsaan jika telah datang waktunya.[4]
Tidak semua para pemuda setuju dengan pembentukan BKR itu. Golongan yang menghendaki dibentuknya sebuah tentara kebangsaan, tidak bersedia memasuki BKR yang mereka anggap tidak dapat memenuhi aspirasi mereka. Golongan ini membentuk semacam badan perjuangan dengan nama yang beragam. Mereka itu pada umumnya berasal dari golongan yang sudah membentuk organisasi-organisasi pada zaman Jepang, baik legal maupun ilegal.
BKR dapat dikatakan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk menghentikan berbagai kegiatan kaum pemuda yang tidak disetujui oleh pemerintah. Bahkan seandainya BKR diperintahkan untuk menumpas organisasi-organisasi yang tidak mau diatur, maka hal itu akan menimbulkan protes umum dari kelompok generasi muda kaum nasionalis. Hambatan paling besar bagi BKR untuk mencapai tingkat efisiensi militer yang lebih tinggi adalah tidak adanya sebuah komando terpusat yang dapat mengangkat anggota-anggota korps perwira. Seringkali kesatuan-kesatuan memilih komandan mereka sendiri sehingga akibatnya kedudukan komandan itu tidak lebih dari sebagai primus inter pares (yang pertama di antara sesama).[5]
Walaupun secara resmi BKR adalah aparat untuk menjaga keamanan setempat, namun karena desakan situasi pada waktu itu, maka BKR mempelopori usaha perebutan-perebutan senjata dari tangan tentara Jepang.[6] Badan-badan perjuangan di luar BKR pun melakukan pula hal yang sama. Karena itu sebelum tentara resmi dalam bentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dilahirkan, kedua organisasi tersebut sesungguhnya telah mulai melakukan tugas militer bagi Negara Republik Indonesia dalam rangka usaha menegakkan kedaulatannya.

A.   Pembubaran Tentara PETA Hubungannya Dengan Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Tentara PETA lahir pada masa pendudukan Jepang dengan bantuann dari pihak Jepang. Para pemimpin Republik Indonesia ketika itu mengkhawatirkan bahwa PETA dapat dicap atau dijuluki sebagai satuan tentara Jepang, sehingga pemerintah Republik Indonesia lebih memilih kebijakan membubarkan PETA terlebih dahulu untuk kemudian pada 23 Agustus 1945 mengundang kembali mantan prajurit PETA bersama golongan pemuda lainnya dalam menyusun suatu Badan Keamanan Rakyat.[7]
PETA pada hakikatnya merupakan suatu organisasi ketentaraan yang lengkap dan komplit yang dipersiapkan pada masa damai maupun untuk masa perang. Susunan kesatuannya baik dari bawah sampai dengan level komandan batalyon adalah murni terdiri dari suku bangsa Indonesia asli yang pada waktu itu status formell di bawah pemerintahan Jepang.[8]
Mental keprajuritan dan mental kebangsaannya tidak perlu diragukan lagi karena mereka pada umumnya sebagian besar terdiri dari orang-orang pilihan pada daerahnya berdasarkan aspek intelektualitas dan juga pengaruh terhadap masyarakat daerahnya masing-masing.[9]
Setelah Jepang kekuasaannya sirna karena kalah dalam Perang Pasifik melawan pihak Sekutu tanggal 15 Agustus 1945, secara formeel wet begrip[10] maka status hukumnya organisasi PETA tidak lagi terikat dengan Jepang. Prajurit PETA yang dibubarkan tanggal 19 Agustus 1945 langsung dipulangkan ke daerahnya masing-masing, padahal mereka itu merupakan tenaga militan yang terlatih dan memiliki semangat kebangsaan yang sangat tinggi.
Berdasarkan dikeluarkannya Dekrit Presiden RI tanggal 22 Agustus 1945 sebagai narasumber hukum berdirinya BKR, maka hal itu langsung digunakan untuk membentuk wadah organisasi perjuangan dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang telah dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945. Sekalipun sistem komunikasi dan koordinasi pada waktu itu masih sangat kuno (terbatas) dan juga sulit tetapi karena korps geest[11] sangat tinggi, maka segala keputusan-keputusan penting yang perlu diambil tidak terjadi penyimpangan dari pertimbangan pada umumnya.
Militansi yang dimiliki mantan prajurit PETA mulai dahulu sampai sekarang baik itu dari tingkatan prajurit bintara maupun perwiranya tetaplah konstan, tidak luntur atau hilang karena dibubarkan. Itulah kaderisasi prajurit PETA yang menunjukkan pendidikan ksatria murni sehingga semangat miltansi tetap terjaga dengan sangat baik.
B.   Kronologi Terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Keputusan pemimpin nasional untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan bukannya suatu tentara yang sungguh-sungguh dipengaruhi oleh kekhawatiran bahwa Sekutu akan melakukan penghancuran terhadap Republik. Hal ini berdasarkan atas perkiraan bahwa pada saat itu mereka belum mempunyai cukup tenaga yang berketerampilan militer untuk mengadakan perlawanan.
Para pemimpin nasional memutuskan memakai strategi yang didasarkan atas diplomasi dan bukan konfrontasi. Mereka mempertimbangkan dengan mengambil sikap low profile, maka pihak Sekutu tidak akan terprovokasi oleh eksistensi Republik dan tidak akan bertindak represif. Gagasan low profile ini meliputi kebijakan untuk tidak membentuk tentara, melainkan hanya sebuah Badan Keamanan Rakyat (BKR).[12]
Faktor-faktor Strategi dan Kebijakan tentang Pembentukan BKR[13]
1)      Kendala Tantangan Dalam Negeri
a.   Sikap Jepang
Pada 18 Agustus 1945, tentara Jepang menerima telegram resmi yang memerintahkan perlawanan dan permusuhan, dan pada 24 Agustus 1945, para komandan pasukan berkumpul di Jakarta. Pada pertemuan itu dibacakan Proklamasi Kerajaan untuk menghentikan permusuhan dan diadakan penjelasan tentang kebijakan yang berhubungan dengan perkembangan keadaan. Kebijakan tersebut meliputi :
Ø  Mentaati hasil Proklamasi Kerajaan
Ø  Menghormati Sekutu
Ø  Persahabatan dengan bangsa Indonesia
b.  Keadaan Pasukan Jepang
Perang Pasifik telah berakhir, tentara Jepang di seluruh Indonesia yang berjumlah 340.000 prajurit ditugaskan Sekutu untuk menjaga keamanan sampai Sekutu datang dan mendarat ke Indonesia. Keadaan moral prajurit dan perwiranya menurun akibat kekalahan dalam Perang Pasifik, namun rasa disiplin mereka masih tinggi. Kemudian organisasi dan persenjataan juga masih lengkap.
c.   Pertimbangan Politis-Psikologis
Para pemimpin Indonesia ingin menunjukkan pada dunia internasional bahwa apabila di kemudian hari sebuah organisasi ketentaraan akan didirikan, maka tentara itu bukanlah penerus organisasi paramiliter seperti PETA dan Heiho yang dibentuk Jepang untuk melawan Sekutu.[14] Namun merupakan suatu organisasi tentara yang berasal dari para prajurit-prajurit Indonesia yang pernah mendapat pendidikan dan pelatihan saat menjadi anggota PETA atau pun anggota Heiho.
2)      Tantangan Luar Negeri
a.    Mendapatkan pengakuan dari Sekutu terhadap keberadaan Indonesia sebagai Negara yang Merdeka dan Berdaulat
Hal ini dimaksudkan jangan sampai kemerdekaan Indonesia itu ditentang oleh pihak Sekutu.
b.    Mengakhiri secara Sah Kekuasaan Belanda atas Indonesia yang secara hukum Internasional masih diakui Sekutu sebagai wilayah jajahan Belanda
Persoalan ini timbul terutama karena proklamasi terjadi sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu, sehingga semua wilayah yang dikuasai Jepang harus dikembalikan kepada Sekutu untuk selanjutnya dikembalikan kepada “yang berhak”.
c.    Menjadikan Dunia Internasional Sebagai Sumber Bagi Kemakmuran Bangsa Indonesia yang Merdeka
Pemikiran ini dilandasi keyakinan bahwa kemerdekaan hanyalah suatu awal bagi kehidupan bangsa yang adil dan makmur karena setelah proklamasi haruslah dirancang pola dasar kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia.
Proses Lahirnya BKR
Pada 19 Agustus 1945, dua orang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yaitu Abikusno Tjokrosujoso dan Otto Iskandardinata, dalam sidang pada hari itu mengusulkan pembentukan sebuah badan pembelaan negara. Usul tersebut ditolak dengan alasan memancing bentrokan dengan tentara pendudukan Jepang yang masih bersenjata lengkap dan adanya ancaman intervensi Tentara Sekutu yang bertugas melucuti persenjataan tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negerinya. Demikian usul untuk membentuk suatu tentara kebangsaan yang terdiri dari mantan prajurit PETA, Heiho, dan Angkatan Laut ditangguhkan. [15]
Pada 20 Agustus 1945, dibentuklah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). BPKKP semula bernama Badan Pembantu Prajurit dan kemudian berubah menjadi Badan Pembantu Pembelaan yang keduanya disingkat BPP. Pembentukan BPP sudah ada dalam zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota tentara PETA dan Heiho.[16] Setelah PETA dan Heiho dibubarkan oleh Jepang tanggal 18 Agustus 1945, maka tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heiho ditangani oleh Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).[17]
Seiring dengan itu didirikan pula Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan bagian dari BPKKP. Berita tentang pembentukan BPKKP dan BKR segera dimuat untuk dikomunikasikan dalam harian surat kabar Soeara Asia  yang terbit pada 25 Agustus 1945. Di wilayah Jawa dan Sumatera, sebagai jawaban atas proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia maka muncullah berbagai badan perjuangan yang menamakan diri mereka barisan, pasukan, atau pemuda.
Dalam sidang tanggal 22 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta, PPKI menetapkan :[18]
a.       Badan Keamanan Rakyat memiliki tugas pemeliharaan keamanan berama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negeri yang bersangkutan.
b.      BKR merupakan suatu bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang. Didirikan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
c.       Pekerjaannya harus dilakukan dengan sukarela.
Semula BKR dimaksudkan sebagai suatu bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Hal ini terlihat aneh, tetapi memang demikian kenyataannya.[19] Adapun tugas dari BPKKP itu secara resmi berbunyi : “menjamin kepada rakyat yang menderita akibat peperangan berupa pertolongan dan bantuan dengan memelihara keselamatan dan keamanan”.
Pembentukan BKR adalah sebagai penampungan organisasi-organisasi pembelaan negara dalam wadah nasional. Nama sementara yang digunakan adalah BKR, suatu badan perjuangan tetapi akan ditingkatkan ke arah ketentaraan. Hal ini jelas tercermin dalam pidato Soekarno tanggal 23 Agustus 1945 yang berbunyi : “Kami telah memutuskan untuk mendirikan dengan segera di mana-mana BKR, untuk membantu penjagaan keamanan. Banyak sekali tenaga yang tepat untuk melaksanakan pekerjaan ini. Mantan prajurit PETA, Heiho, Pelaut, pemuda-pemuda yang penuh semangat pembangunan, mereka semua adalah tenaga yang baik untuk pekerjaan ini. Karena itu saya mengharapkan kepada kamu sekalian, hai mantan prajurit-prajurit PETA, Heiho, Pelaut beserta pemuda-pemuda lain untuk sementara waktu masuklah dan bekerjalah dalam BKR. Percayalah, nanti akan datang saatnya kamu dipanggil untuk menjadi prajurit dalam Tentara Kebangsaan Indonesia!!” Isi amanat tersebut di atas merupakan narasumber hukum lahirnya / terbentuknya Badan Keamanan Rakyat. [20]
Pembentukan BKR Di Daerah-Daerah
1)      Jakarta
Para pemuda dan mantan prajurit PETA di Jakarta berkumpul dan menentukan struktur BKR sesuai dengan struktur teritorial zaman pendudukan Jepang. Mereka yang menyatakan diri sebagai pengurus pusat terdiri dari Kaprawi, Latief Hendraningrat, Arifin Abdurrahman, Machmud, dan Zulkifli Lubis.
BKR Jakarta dibentuk pada bulan Agustus 1945 dipimpin oleh Moefreni Moekmin yang beranggotakan beberapa orang antara lain Daan Mogot, Latief Hendraningrat, Soeroto Koento, dan Sujono.
2)      Bogor
BKR di Bogor terbentuk pada bulan Oktober 1945. Beberapa pengurus antara lain Husein Sastranegara, Toha, dan Dulle Abdullah. Belum sempat mempersenjatai diri dengan kuat, BKR Bogor telah menghadapi penyerbuan tentara Inggris pada 22 Oktober 1945. Dalam perundingan dengan Inggris yang berlangsung di Jakarta, beberapa pimpinan BKR ditangkap pihak Inggris dan diasingkan ke Pulau Onrust.
3)      Jawa Tengah dan Jawa Timur
Pembentukan BKR di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki pola yang sama dengan proses pembentukan BKR di Jakarta dan Jawa Barat. Pada mulanya terdapat inti mantan-mantan prajurit PETA kemudian menjadi pasukan dalam jumlah besar karena ikut sertanya para pemuda dari golongan lain seperti Keibodan, Heiho, dan Seinendan.
C.   Dasar Hukum Dalam Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Pembentukan BKR merupakan perubahan dari keputusan sidang yang telah diambil PPKI dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945. Dalam sidang tersebut diputuskan untuk membentuk tentara kebangsaan. Keputusan untuk tidak membentuk tentara kebangsaan dilandasi oleh pertimbangan politik. Pimpinan Nasional pada saat itu memutuskan terutama untuk menempuh cara diplomasi dalam rangka memperoleh pengakuan terhadap kemerdekaan yang baru diproklamasikan 17 Agustus 1945.[21]
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945 menetapkan keputusan sebagai berikut :
ª      Sebagai induk organisasi yang harus mengerjakan dan memelihara keselamatan masyarakat, maka didirikan suatu badan bernama Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).
ª      Memelihara keselamatan masyarakat dan keamanan adalah satu, karena itu di dalam Badan Penolong Keluarga Korban Perang diadakan satu bagian bernama Badan Keamanan Rakyat.
ª      Pimpinan Badan Keamanan Rakyat harus menjalankan pekerjaannya dengan sukarela.
ª      Badan Keamanan Rakyat harus memelihara keamanan bersama dengan jawatan-jawatan negeri yang berkaitan.
ª      Badan Penolong Keluarga Korban Perang dan Badan Keamanan Rakyat berada di bawah pengawasan dan kepemimpinan Komite Nasional.
D.   Arti Penting dan Makna Badan Keamanan Rakyat (BKR)
Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk pada tahun 1945 sebagai :
Ø  Pencetusan jiwa yang sudah lama bergelora semasa penjajahan yang didorong oleh penderitaan saat penjajahan Belanda dan Jepang.
Ø  Kecintaan terhadap tanah air yang sudah basah oleh keringat, air mata, dan pertumpahan darah.
Ø  Kelanjutan sikap politik yang menginginkan tercapainya tujuan proklamasi, namun sadar atas keadaan dan konsekuensi yang timbul.
Sambutan yang spontan terhadap pembentukan BKR menggambarkan :
Ø  Tumbuhnya manusia yang taat dan dilandaskan jiwa semangat bela negara.
Ø  Suatu keharusan dan kesadaran akan kewajiban untuk membela negara. Mereka merasa terpanggil untuk dapat mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara.
Arti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dalam Ketentuan Konstitusional
BKR merupakan suatu organisasi kenegaraan di bidang pertahanan dan keamanan yang merintis pelaksanaan ketentuan UUD 1945. Secara historis makna BKR adalah suatu organisasi yang menjembatani suatu periode yang penting, yaitu periode transisi dan transformasi dari “dunia penjajah yang sekarat” ke arah “dunia kebangsaan Indonesia yang sedang berjuang lahir di dunia”.[22]
E.   Peran dan Tugas Badan Keamanan Rakyat (BKR) Terhadap Pertahanan Negara
Badan Keamanan Rakyat (BKR) dalam tujuan pembentukannya melaksanakan beberapa peran dan tugas yang diamanatkan oleh para pemimpin nasional. Contohnya BKR Malang (Jawa Timur), melakukan upaya menangkap orang-orang utusan Sekutu yang menyamar sebagai anggota Palang Merah Internasional. Hal tersebut berdasarkan kecurigaan mereka terhadap anggota Red Cross tersebut, yang saat ditangkap mereka membawa senjata, pistol dan peralatan sistem komunikasi.[23]
Contoh lainnya yaitu BKR melucuti persenjataan tentara Jepang. Tugas ini dilaksanakan oleh BKR Madiun dan juga BKR Malang. BKR mengadakan perundingan dengan pihak Jepang tentang masalah pelucutan senjata Tentara Jepang. Perundingan tersebut berjalan dengan lancar dan pada tanggal 20 September 1945, di markas Resimen Katagiri Butai[24] diadakan penyerahan persenjataan kepada BKR Malang.
Kesimpulan
Rekonstruksi sejarah BKR tidak dapat dilepaskan dari seluruh proses perjuangan kemerdekaan, sejak munculnya pergerakan kebangsaan (khususnya setelah tahun 1930-an), sikap dan persepsi runtuhnya Hindia-Belanda di kalangan pemuda, pengalaman masa pendudukan Jepang dan runtuhnya kekuasaan Jepang yang mendadak pada 15 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan Indonesia, serta perjuangan diplomasi dan bersenjata sampai tahun 1949.
Pembentukan BKR merupakan perubahan dari keputusan sidang yang telah diambil PPKI dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945. Dalam sidang tersebut diputuskan untuk membentuk tentara kebangsaan. Keputusan untuk tidak membentuk tentara kebangsaan dilandasi oleh pertimbangan politik. Pimpinan Nasional pada saat itu memutuskan terutama untuk menempuh cara diplomasi dalam rangka memperoleh pengakuan terhadap kemerdekaan yang baru diproklamasikan 17 Agustus 1945.[25] Pembentukan tentara akan mengundang reaksi dari pasukan Jepang yang masih memiliki sisa-sisa kekuatan dan juga reaksi dari pasukan Sekutu yang akan segera mendarat di Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, BKR yang dibentuk tanggal 22 Agustus 1945, bukanlah tentara dan bukan dimaksudkan sebagai satu organisasi kemiliteran yang resmi. BKR di samping masih bersifat kerakyatan bukan bersifat kemiliteran, juga pembentukannya atas dasar individual, tidak secara en-bloc per kesatuan pasukan.[26] BKR juga tidak berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan sebab jabatan tersebut kosong beberapa lama sebagaimana tidak adanya jabatan Panglima Militer.
Pemerintah Soekarno-Hatta memang memaksudkan BKR hanya untuk memelihara ketentraman saja,[27] sesuai dengan strategi politik Soekarno-Hatta yang menitikberatkan segi diplomasi (perundingan).
BKR tetap eksis karena rencana para pemimpin negara yang dipengaruhi oleh keinginan tercapainya niat kemerdekaan. BKR yang pada umumnya dipimpin oleh orang-orang yang pernah ditempa, dididik dan dilatih pada zaman Jepang, ternyata dapat melaksanakan tugasnya dengan baik saat itu. Kelanjutan dari gerakan BKR bukan hanya menjelmanya Tentara Kebangsaan seperti ditujukan oleh gerakan itu saja. Namun lebih dari itu adalah menjelmanya sikap dan semangat bela negara rakyat pada umumnya secara alamiah.
BKR bukan hanya sekedar pemersatu orang-orang yang rela berkorban untuk mempertahankan negara pada waktu itu saja, bukan pula sekedar sikap politik untuk menutupi sikap pemerintah yang sebenarnya, namun sebagai satu organisasi niat dan gerakan untuk pembangunan bangsa dan negara selanjutnya.

[1] Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwi Fungsi ABRI. (LP3ES. 1986). hlm. 10
[2] Ibid, hlm. 11.
[3] T.B. Simatupang, Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, (Jajasan Pustaka Militer, 1954), hlm. 55.
[4] Jend. A. H. Nasution. Tentara Nasional Indonesia Jilid I, (Djakarta : Ganeco, 1968), hlm. 103-104.
[5] Ulf Sundhaussen. op. cit., hlm. 12.
[6] Amrin Imran dkk, Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat (Jakarta : Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971), hlm. 3.
[7] Pamoe Rahardjo, Badan Keamanan Rakyat : Cikal Bakal TNI (Jakarta : PETA PRESS, 1995), hlm. 266.
[8] Ibid, hlm. 213.
[9] Purbo S. Suwondo, PETA : Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa dan Sumatra 1942-1945, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 155.
[10] formeel wet begrip : menurut hukum. Lihat Pamoe Rahardjo, Badan Keamanan Rakyat : Cikal Bakal TNI (Jakarta : PETA PRESS, 1995), hlm. 214.
[11] korps geest : rasa solidaritas. Lihat Pamoe Rahardjo, loc. cit.
[12] Nugroho Notosusanto, Tentara PETA Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia, 1979). hlm. 141-142.
[13] Pamoe Rahardjo, op. cit. hlm. 265
[14] Pamoe Rahardjo, Badan Keamanan Rakyat : Cikal Bakal TNI (Jakarta : PETA PRESS, 1995), hlm. 266
[15] Ibid, hlm. 157.
[16] Amrin Imran dkk, Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat (Jakarta : Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1971), hlm. 1.
[17] Jend. A. H. Nasution. op. cit., hlm. 114.
[18] Pamoe Rahardjo, op. cit., hlm. 67.
[19] Ibid, hlm. 264.
[20] Ibid, hlm. 199
[21] Amrin Imran dkk, loc. cit.
[22] Pamoe Rahardjo, op. cit., hlm. 272.
[23] Pamoe Rahardjo, op. cit., hlm. 201.
[24] Ibid, hlm. 204-205.
[25] Amrin Imran dkk, loc. cit.
[26] Lihat Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1982). hlm. 22.
[27] Yahya A. Muhaimin, loc.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar