Komunitas Babad Bandayuda, 11 November 2013 pukul 0:05
Pasukan PETA telah berperan besar dalam perang memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA yaitu Soeharto dan Jendral Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Oleh karena hal tersebut orang-orang banyak menganggap PETA merupakan cikal bakal lahirnya TNI.
Latar Belakang
Adanya PETA (Pembela Tanah Air) dianggap bermula dari surat yang dilayangkan Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada tanggal 7 September 1943 antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran “Asia Raya” pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
Pendirian PETA didasarkan pada maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada.
Osamu Seirei No 44, 3 Oktober 1943 berisikan mengenai Pembentukan Pasukan Sukarela untuk membela Pulau Jawa dengan status :
- Kesatu, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), terdiri dari warga negara yang asli
- Kedua, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), dilatih oleh tentara Jepang
- Ketiga, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), bukan milik organisasi manapun, langsung dibawah Panglima Tentara Jepang
- Keempat, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebagai tentara teritorial yang berkewajiban mempertahankan wilayahnya (syuu)
- Kelima, Tentara Pembela Tanah Air (PETA), siap melawan sekutu
Perhatian dan minat dari para pemuda Indonesia ternyata sangat besar, terutama para pemuda yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah menengah dan yang telah bergabung dengan Seinendan. Di dalam PETA terdapat Lima macam tingkat kepangkatan, yaitu
- Daidanco (komandan batalyon), dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamongraja, politikus, dan penegak hukum
- Cudanco (komandan kompi), dipilih dari kalangan yang sudah memiliki pekerjaan namun masih belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru dan juru tulis.
- Shodanco (komandan peleton), dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.
- Budanco (komandan regu), dipilih dari kalangan pemuda yang pernah bersekolah dasar
- Giyuhei (prajurit sukarela) dari kalangan pemuda yang belum pernah mengenyam pendidikan
Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap Balatentara Jepang, hal ini dikarenakan pemerintah Jepang yang semula memberikan janji masa depan yang cerah bagi rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru membuat rakyat Indonesia semakin sengsara. Sehingga timbullah pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para anggota PETA.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut paling besar terjadi di Blitar Jawa Timur. Pada tanggal 14 Februari 1945 terjadi perlawanan oleh PETA di bawah pimpinan Supriyadi (putra Bupati Blitar) dan kawan-kawannya yang terjadi dalam Daidan Surakmad. Motif utama dalam perlawanan ini adalah kemarahan dan ketidakpuasan tentara Peta terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Mereka melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat terdapat adanya penderitaan rakyat di mana-mana, terutama disekitar tempat tugas mereka. Dalam memimpin perlawanan ini Supriyadi dibantu oleh Dr. Ismail, Mudari, dan Suwondo.
Pada tanggal 29 Februari 1945 dinihari mulailah Supriyadi dengan teman-temannya para anggota PETA bergerak. Mereka melepaskan tembakan mortar, senapan mesin, dan granat dari daidan, lalu bergerak ke luar dengan senjata lengkap. Setelah pihak Jepang mengetahui tentang gerakan pemberontakan itu, maka dengan cepat didatangkan pasukan-pasukan Jepang. Pasukan ini juga dipersenjatai tank, dan pesawat udara. Mereka terus menduduki Kota Blitar, yang pada waktu itu telah menjadi sunyi-senyap, karena lalu lintas biasa terhenti dan rakyat bersembunyi atau menyingkir. Rumah Daidanco dan Cudanco semuanya dijaga oleh Jepang: Daidan pun telah didudukinya. Daidanco sebenarnya sudah jadi tawanan Jepang, dan dari Daidanco tawanan ini ke luar perintah –perintah yang ditunjukkan kepada anggota-anggota yang belum terkumpul kembali, termasuk Cudanco Suyatmo, untuk melaporkan diri.
Pada perlawanan ini, orang-orang Jepang yang ada di Blitar dibunuh, perlawanan ini benar-benar mengejutkan bagi Jepang terlebih lagi pada saat itu Jepang terus-menerus mengalami kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya. Kemudian Jepang mengepung kedudukan Supriyadi dan kawan-kawannya, namun pasukan Supriyadi tatap melakukan perlawanan dan menjalankan aksinya, maka terjadilah pertempuran. Tembak-tembakan senjata berat terjadi antara tentara-tentara Jepang dengan para tentara PETA, dengan terjadinya keadaan seperti ini membingungkan Jepang dan membuatnya terjepit.
Menghadapai kegigihan tekad pihak pemberontak tersebut, maka Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri menjalankan cara yang lembut untuk menundukkan Supriyadi beserta kawan-kawannya dari PETA, tapi pada sesungguhnya cara yang dilakukan oleh pasukan Jepang tersebut merupakan suatu tipu muslihat dengan menyerukan agar para pemuda-pemuda Blitar yang mengadakan perlawanan tersebut untuk menyerah saja dan kemudian akan dijamin keselamatannya serta akan dipenuhi permintaannya oleh pemerintah Jepang.
Tipuan Jepang tersebut ternyata berhasil dan akibatnya banyak anggota PETA yang menyerah. Pasukan PETA yang menyerah tersebut tidak luput dari hukuman Jepang dan beberapa orang diantaranya dijatuhi hukuman mati, ada pula yang meninggal karena siksaan dari tentara-tentara Jepang. Adapaun nasib Supriyadi dalam perlawanan itu belum diketahui secara jelas dan pasti, ada kemungkinan beliau tertangkap dan disiksa sampai menemui ajalnya. Peristiwa ini sangat dirahasiakan oleh pemerintah Jepang sehingga tidak tercium oleh pihak luar.
Pemberontakan di Blitar adalah pemberontakan yang paling besar terjadi di dalam PETA, akan tetapi menurut perkiraan telah terjadi pemberontakan lainnya yang lebih kecil, yang disembunyikan oleh Jepang. Pemberontakan tersebut adalah pemberontakan dalam batalyon daerah Cilacap. Di Gumilir, di luar Kota Cilacap, ditempatkan satu Cudan (kompi) PETA dari daidan Cilacap yang dipimpin oleh Sutirto. Pemimpin regu (Budanco) Kusaeri bersama-sama dengan Suwab, Wasirun, Hadi, Mardiyono, Sarjono, Udi, S. Wiryosukarto, Taswan dan Sujud tampil memelopori pemberontakan tersebut.
Setelah Kusaeri dengan teman-temannya bersepakat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang, terlebih dahulu ia mendatangai orang Kyai yang terkenal di daerah itu guna mendapatkan bantuan batin, yaitu Kyai Bugel di Lebeng daerah Cilacap, Kyai Juhdi di Rawalo dan Kyai H. Muhammad Sidik di daerah Banjarnegara. Kusaeri menerima wejangan-wejangan dan benda-benda yang dipandang mengandung nilai magis. Dalam pertemuan Kusaeri dengan kawan-kawannya pada tanggal 5 April 1945 di belakang gudang munisi diputuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada tanggal 21 April 1945 pukul 23.00.
Sesuai dengan rencananya, anggota bagian persenjataan yang bersikap ragu-ragu lalu disergap dan diikat kedua tangannya sehingga gudang senjata dapat dibukanya. Sejumlah 215 orang PETA lengkap dengan persenjataan dan munisinya bergerak ke luar asrama PETA Gumilir menuju Gunung Srandil yang akan digunakan sebagai basis gerakannya. Panggilan Daidanco Sutirto agar mereka kembali tidak dihiraukannya. Jepang berpendapat bahwa pemberontakan itu telah diketahui oleh Daidanco PETA Kroya, Sudirman. Oleh karenanya, Sudirman diperintahkan untuk berangkat bersama opsir Jepang guna memadamkan pemberontakan tersebut. Namun, Daidanco Sudirman bersedia membantu dengan syarat:
a. Kampung-kampung yang dipergunakan sebagi tempat persembunyian Kusaeri dan kawan-kawannya tidak boleh ditembaki.
b. Prajurit-prajurit PETA yang menyerah tidak boleh disiksa.
Kemudian pihak Jepang menerima dan menjamin persyaratan tersebut. Akhirnya Sudirman menuju ke tempat para pemberontak bersama opsir-opsir Jepang. Setelah sampai Sudirman melalukan panggilan terhadap Kusaeri beserta kawan-kawannya. Pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik dan mereka tidak dihadapkan ke siding pengadilan militer Jepang. Sedangkan tanggung jawab selanjutnya adalah pada daidanco PETA Cilacap. Namun, pada tanggal 25 April 1945 Kusaeri tertangkap di Desa Adipala dalam perjalanan menuju Cilacap. Ia diikat dan ditelungkupkan dalam mobil dengan dua orang Jepang duduk di atas punggungnya. Selama dua minggu di Cilacap ia terus menerus diperiksa oleh Jepang, kemudian pada tanggal 10 Mei 1945 Kusaeri dengan 18 orang temannya termasuk Kyai Bugel di bawa ke Jakarta oleh Jepang. Kusaeri divonis hukuma mati, sedangkan lainnya ada yang dihukum seumur hidup dan hukuman 15 tahun penjara, diantara mereka ada yang menderita lumpuh di dalam tahanan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendudukan Jepang di Indonesia tidak dapat diterima, di samping adanya perlawanan-perlawanan tersebut, para tentara-tentara Jepang juga sempat mengadakan pembunuhan secara besar-besaran terhadap masyarakat lapisan terpelajar di daerah Kalimantan Barat. Tidak kurang dari 20.000 orang yang meninggal akibat dibunuh oleh para tentara Jepang, hanya sebagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri dan lari ke Pulau Jawa.
Kemungkinan besar, politik pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh para tentara Jepang tersebut merupakan persiapan kolonisasi orang-orang Jepang kelak di kemudian hari. Alasan semula, berasal dari kecurigaan pemerintah Jepang terhadap adanya mata-mata musuh yang tersebar di wilayah ini, yang kemudian melakukan pembasmian demi keselamatan Jepang. Meskipun demikian, di wilayah ini telah terjadi suatau tindakan brutal yang dilakukan oleh para tentara pemerintah pendudukan Jepang yang tidak mengenal adanya perikemanusiaan.
Pembubaran PETA
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Soekarno yang saat itu baru menjabat sebagai presiden mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Pada tanggal 19 Agustus 1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuanPETA (Pembela Tanah Air)
-wahyu wiguno-
Maaf sebelumnya ini reverensinya ngambil dari mana saja ya...
BalasHapusTrimakasih