Rabu, 11 Desember 2013

Mengungkap Tragedi Pembantaian Penduduk Sipil di kampung Tulung oleh Pasukan Kido Butai Jepang


A. Berita Proklamasi Kemerdekaan Sampai di Kota Magelang

Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pimpinan Sekutu Amerika Serikat menunjuk Inggris untuk melucuti senjata dan mengembalikan tentara Jepang ke Negara asalnya. Namun kedatangan pasukan Inggris ke Indonesian terlambat, sehingga dimanfaatkan oleh para pemuda dipergunakan sebaik-baiknya untuk memproklamirkan kemerdekaan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (Sumarmo, 1991: 85).
Di Magelang berita kemerdekaan ini belum terdengar. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945, R.P Soeroso langsung berangkat ke Jakarta untuk memastikan berita kemerdekaan itu.
Bupati Kabupaten Magelang, R.A.A. Sosrodiprodjo sebagai Kentyo baru mengetahuinya setelah pada tanggal 21 Agustus 1945 Syutyokan (Residen Kedu) R.P. Soeroso tiba di Magelang dari Jakarta. Tepatnya tanggal 3 September 1945 pukul 21. 00 WIB, rakyat Magelang telah berkumpul untuk mendengar secara resmi pengumuman telah diproklamirkannya Indonesia merdeka dan menyatakan karesidenan Kedu menjadi bagian dari negara Indonesia (Pemda Kab.Magelang, 1974: 62).
R.P. Soeroso diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah. Beliau sebelum meninggalkan Kota Magelang, terlebih dahulu mengadakan konsulidasi untuk merencanakan pengambilan alih kekuasaan sipil dari tangan Jepang. Berkat usulan para tokoh Barisan Pelopor, maka pada tanggal 10 September 1945 dilaksanakan petemuan di rumah Dr. Mardjaban di jalan Sultan Agung No. 09 (Adiwiratmoko, 1998: 6). Dalam Petemuan dihadiri oleh kepala kantor dan Jawatan pemerintah bangsa Indonesia, unsur KNI dan beberapa tokoh pemuda. Keputusan yangdiambil antara lain:
1. Semua pegawai pemerintah menyatakan setia kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan tidak akan tunduk atas perintah para pembesar Jawatan yang terdiri dari orang-orang Jepang.
2. Membentuk beberapa sayap pemuda untuk dapat diajak bersama-sama mengatasi segala persoalan.
3. Para pemuda dalam waktu singkat telah berhasil mengambil kekuasaan kantor-kantor pemerintah kota Magelang sehingga jangan sampai jatuh ke tangan pasukan Inggris.
Magelang sebagai markas tentara Jepang tidak lepas dari aksi pengambilalihan kekuasaan. Masyarakat Magelang melakukan aksi-aksi itu secara paksa. Markas tentara yang berada di jalan Kartini dan markas polisi militer Jepang berada di jalan Tidar masih lengkap persenjataannya. Para pemuda yang menjadi anggota badan-badan perjuangan merencanakan untuk merebut senjata dari tangan Jepang . Mula-mula pelucutan senjata balatentara Jepang dan polisi bentukannya dilakukan tanpa koordinasi dan secara perseorangan (Dinas Sejarah Militer Kodam VIII/ Diponegoro, 1977: 213).
Pada tanggal 23 September 1945 para pemuda dengan dipimpin oleh tokoh-tokoh Barisan Pelopor mengadakan aksi pengambilalihan kekuasaan pemerintah sipil dengan menduduki kantor-kantor dan jawatan-jawatan pemerintah. Kemudian para wakil-wakil kepala kantor dan jawatan yang dijabat oleh orang Indonesia menduduki jabatan kepala yang pada watu itu masih diduduki oleh orang-orang Jepang, aksi berikutnya pada dinding gedung kantor dan perusahaan-perusahaan diberi tulisan “MILIK RI” (Wawancara dengan Suhendro pada tanggal 12 Agustus 2010)
Pada malam harinya kelompok pemuda mengadakan rapat di markas Pemuda Indonesia Maluku (PIM) di jalan Poncol (sekarang jalan A.Yani, di depan gedung Guesthous Zipur). Salah satu keputusan yang dambil ialah bahwa pada malam hari itu juga para pemuda akan mengadakan penempelan Plakat Bendera Merah Putih di seluruh kota. Maka pada pagi harinya seluruh kota dimulai dari Kelurahan Kramat yang paling utara hingga Kelurahan Tidar yang paling selatan telah tertempel plakat Bendera Merah Putih (Adiwiratmoko, 1998: 7-9).
B. Upaya-Upaya Melucuti Persenjataan Tentara Jepang
Situasi dan kondisi daerah Magelang makin gawat dengan terjadinya insiden-insiden antara rakyat Magelang dan bala tentara Jepang. Proses peralihan kekuasaan dari pemerintah pendudukan Jepang ke pemerintah RI diiringi berbagai konflik dari sisa-sisa tentaranya yang masih berkeliaran di Magelang. Hal ini disebabkan pasukan Jepang berubah fungsi sebagai alat Sekutu yang berkewajiban menjaga satus quo menjelang pendaratan tentara Inggris di Indonesia.
Pada tanggal 12 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pemimpin pemerintah, pihak militer, pihak badan-badan perjuanagn di rumah R.P. Soeroso (Residen Kedu merangkap Gubernur JawaTengah). Rapat dihadiri para pejuang bangsa ini menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Pihak Jepang harus menyerahkan senjata pada pihak RI dengan sukarela maupun kekerasan.
2. Perlu dibentuk delegasi di pihak Indonesia untuk berunding dengan Mayor Jenderal Nakamura (Adiwiratmoko, 1998: 24).
Masyarakat Magelang melucuti senjata secara damai, dimulai pada tanggal 13 Oktober 1945, mereka mengirim delegasi perundingan ke Markas Nakamura Butai di jalan Kartini. Delegasi ini terdiri dari 3 orang wakil rakyat yaitu Mayor Maryadi selaku kepala staf Residen BKR, IP I Legowo selaku pejabat kepolisian kota Magelang dan Tartib Prawiradihardjo selaku anggota KNI. Mereka berunding dengan Mayor Jenderal Nakamura guna mencari penyelesaian masalah pemerintah militer Jepang yaitu dengan penyerahan senjata kepada bangsa Indonesia.
Sementara di luar gendung pasukan rakyat yang terdiri dari BKR, Polisi, dan berbagai laskar perjuangan telah mengepung markas. Perundingan ternyata tidak mencapai kesepakatan, akhirnya tanggal 14 Oktober 1945 serangan dimulai. Penyerangan pertama ditujukan pada penjagaan tentara Jepang di Homma Butai yang bermarkas di Kaderschool. Hasil pelucutan persenjataan milik tentara Jepang mencapai 500 pucuk senjata. Kedua menangkap Jenderal Nakamura dan tentara Jepang, selanjutnya mereka diangkut ke Purworejo, Kebumen dan Gombong untuk diserahkan kepada RAPWI (Recovery Allied Prisoners and War Internees) (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 1998: 61).
C. Fitnah NICA
Pada tanggal 24 September 1945, Sembilan tentara Inggris mendarat di Lapangan Tidar setelah diterjunkan dari pesawat terbang. Pendaratan mereka menjadi perhatian penduduk Magelang, karena sejak pendudukan Jepang di Magelang belum pernah ada penerjunan langsung dari pesawat. Akhirnya penduduk sekitar Lereng Tidar itu mendekat untuk melihat secara langsung siapa kesembilan penerjun payung itu. Ternyata kesembilan penerjun payung itu adalah Tentara Inggris yang berasal dari kesatuan Recovery Allied Prisoners and War Internees (RAPWI). Hal itu bisa diketahui dari pakaian seragam yang dipakai kesembilan orang itu. Pada lengan kiri terdapat simbul palang merah dan peralatan-peralatan militer dan medis medis (Wawancara dengan Soehendro pada tanggal 12 Agustus 2010)
Untunglah ada pimpinan polisi Ip.I.Legowo yang cepat mengatasi situasi. Penduduk Magelang berusaha untuk mendekat akhirnya dapat ditahan dan diberi pengertian supaya tidak melakukan tindakan perlawanan. Beliau menjelaskan bahwa kesembilan orang itu bukanlah orang NICA, melainkan tentara Inggris yang akan bertugas melucuti senjata dan mengembalikan Tentara Jepang ke negara asalnya (Soehendro, 2008: 4). Untuk sementara waktu Kesembilan Tentara Inggris itu menginap di Hotel Nitaka Magelang dengan penjagaan Tentara Jepang yang kuat.
Bersamaan itu, sekelompok pemuda mengadakan aksi penempelan plakat merah putih dan corat-coret di tembok-tembok jalan utama di seluruh Kota Magelang. Tujuan aksi tersebut adalah sebagai bentuk kebulatan tekat pemuda Magelang untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 24 September 1945, salah satu plakat merah putih yang tertempel di dinding Hotel Nitaka disobek oleh Tentara Jepang. Kebetulan ada sekelompok pemuda melihat penyobekan itu sehingga menimbulkan emosi, maka terjadilah saling mencaci maki yang berakhir dengan salah seorang pemuda tertembak (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 55). Akhirnya Jenderal Nakamura berjanji akan menyelesaikan kejadian di Hotel Nitaka itu melalui pengadilan militer di Markas Kenpeitei di Jalan Tidar Kota Magelang.
Pada tanggal 26 Oktober 1945, Tentara Inggris datang di Magelang dari Semarang. Kendaraan militer seperti tank, pankser, truk, dan jeep memadati jalan di sepanjang Jalan Utama di Kota Magelang. Tentara Inggris itu di bawah pimpinan Letnan Kolonel HG.Edward. Namun yang menarik justru Tentara Inggris kebanyakan orang Gurkha (India Sikh). Mereka membangun markas di Jalan Menowo, Gedung Susteran, dan Sociatet. Di setiap markas tentara Inggris dikibarkan Bendera Inggris, yang justru menimbulkan gesekan-gesekan dengan para pemuda Magelang. Tuntutan para pemuda sederhana, supaya bendera Inggris diturunkan dan digantikan dengan bendera merah putih.
Sementara itu, orang-orang Belanda yang sering disebut NICA secara diam-diam mulai beraksi di Kota Magelang. Adapun aksinya adalah mengeluarkan para interniran yang dipenjarakan di Markas Keipentei, mengibarkan Bendera Belanda, dan melakukan aksi-aksi memancing kemarahan pemuda Magelang. Berbeda dengan Tentara Inggris yang disibukan dengan pelucutan senjata dan pengembalian Tentara Jepang, sehingga aksi orang-orang NICA itu tidak bisa dipantau.
Melihat situasi semakin tidak terkendali, pihak NICA mencoba mempengaruhi Tentara Inggris untuk mendatangkan Tentara Jepang dari Semarang. NICA berdalih bahwa Tentara Jepang masih bertugas menjaga keamanan Indonesia, sebelum diserahkan kepada negara pemenang perang. Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 1945 salah seorang komandan NICA mengirim kabar kepada komandan Tentara Kidobutai di Semarang. Isi kabar itu ternyata fitnah, bahwa banyak Tentara Jepang yang tidak bersenjata dipenggal kepalanya oleh penduduk Magelang, dan Jenderal Nakamura dianiya hingga tewas.
Tindakan Nica itu sama saja memanfaatkan emosi Tentara Jepang, yang masih frustasi akibat kalah perang melawan Tentara Sekutu. Praktis komandan Tentara Kido butai (Pasukan Gerak Cepat Jepang) akan membalas tindakan penduduk Magelang. Tidak ada upaya melakukan penyelidikan dahulu mengenai peristiwa sebenarnya. Pada hal kejadian yang sebenarnya adalah bahwa di Kota Magelang sedang terjadi upaya-upaya pelucutan senjata di gudang-gudang senjata milik Tentara Jepang, sedang Jenderal Nakamura justru diselamatkan oleh para pemuda Magelang eks Heiho dan Peta. Sebelum dibawa ke Semarang, Jenderal Nakamura dibawa ke Gombong oleh komandan Heiho Magelang (Wawancara dengan Soehendro pada tanggal 15 Agustus 2010)
D. Terjadinya Pembantaian di Kampung Tulung
Pada tanggal 28 Oktober 1945, tentara bantuan Jepang dari Semarang sebanyak 7 truk menurunkan personelnya di pertigaan jalan Payaman pada jam 08.00 WIB. Tentara Kido Butai dibagi menjadi 2 kelompok untuk menyerang Kota Magelang. Kelompok pertama dari pertigaan Payaman terus bergerak ke Selatan. Kelompok kedua menuju kearah barat sampai di mata air Kalibening, kemudian ke selatan melalui menelusuri Sungai Bening menuju Kampung Tulung.
Dalam perjalanan Tentara Kido Butai dari kelompok pertama melewati payaman, Kedungsari, Taman Bada’an, Kampung Dukuh, dan sampai di sebelah timur Kampung Tulung. Kelompok kedua Tentara Kido Butai yang mengambil arah selatan, mereka berjalan menuju arah kecamatan Windusari yang kemudian berhenti pada mata air Kali Bening. Selanjutnya menyusuri sungai Bening hingga sampai sebelah timur Kampung Tulung.
Sebagian Tentara Kido Butai memotong jalan yang kemudian menyelinap melalui Pemakaman Nglarangan dan terus melewati sawah-sawah yang terletak sebelah barat makam menuju selatan selanjutnya masuk melalui utara Kampung Tulung. Dengan demikian dapat dapat disimpulkan, bahwa taktik Jepang untuk melumpuhkan Tentara Keamanan Rakyat di Kampung Tulung dengan mengepung segala arah jalan keluar dari kampung tersebut sehingga penduduk tidak dapat meloloskan diri dari kepungan Tentara Kido Butai.
Tentara Kido Butai melakukan perjalanan menuju Kampung Tulung, menembaki setiap orang yang berada dihadapannya, tidak ada belas kasihan sehingga baik laki-laki, perempuan, dan anak kecil pun menjadi korban kekejaman. Demikian pula ketika melalui Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO) Guverment sekarang SMP Negeri 1 Magelang, Tentara Kido Butai juga menambak para pelajar yang sedang mengikuti kegiatan Belajar mengajar sehingga menyebabkan terbunuhnya Soemiatdjo, Soesilo, dan Soediro. Untuk mengenang gugurnya ketiga pelajar ini didirikanlah Monumen Rantai Kencana yang berada di lingkungan SMP Negeri 1 Magelang.
Sesampainya di Kampung Tulung, Tentara Kido Butai yang mengambil arah barat atau selatan langsung dengan kejam membantai penduduk Kampung Tulung tersebut. Dalam waktu sangat singkat Tentara Kido Butai telah sampai di belakang Kelurahan, dan oleh para pemuda yang berada di Kelurahan mengira bahwa itu adalah kawan sendiri yang berasal dari Tentara Keamana Rakyat (BKR). Para Pemuda sibuk menyiapkan makan siang bagi para pejuang, karena di Kelurahan itu adalah penyelenggara Dapur Umum.
Kedatangan mendadak Tentara Kido Butai menyerang para pemuda yang tidak bersenjata untuk melawan. Akibatnya, penduduk Kampung Tulung yang berada di sekitar dan dalam Kantor Kelurahan dibantai dengan kejam. Jumlah penduduk Kampung Tulung tewas yang berhasil teridentifikasi berjumlah 42 orang, pemuda 42 orang, 16 pejuang, dan 26 anggota TKR berasal dari Kelurahan Magelang (Berdasarkan wawancara dengan Soehendro pada tanggal 20 Agustus 2010)
Adapun Daftar Penduduk Tulung dan Dukuh Kelurahan Magelang sebagaimana tercantum dibawah ini :
NO
NAMA
ASAL
TEMPAT GUGUR
KETERANGAN
1
SOPAWIRO PEMUDA
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
2
R.E. DOERAJAT
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
3
LUSI
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
4
MUHAMAD
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
5
ATMOROTO
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
6
KROMO PAWIRO
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
7
IMAM SAMSURI
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
8
SYAFI’I
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
9
AMAT DASIMAN
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
10
KARTO LICHIN
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
11
SUMARDJO
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
12
SETO
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
13
ALABIN
KAMPUNG DUKUH
BADA’AN
PEMUDA PEJUANG
14
KARTO PAWIRO
KAMPUNG DUKUH
BADA’AN
PEMUDA PEJUANG
15
RUSMIN
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
16
NY.AMAT
KAMPUNG DUKUH
BADA’AN
PEMUDA PEJUANG
17
26 ANGGOTA BKR GUGUR DI KAMPUNG TULUNG KELURAHAN MAGELANG
(Dikutip dari: Soeratmin,dkk. Peristiwa Sejarah Perjuangan Mempertahankan Dan Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia yang Terjadi di Kampung Tulung Kelurahan Magelang Pada Akhir Oktober Tahun 1945, Magelang: Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Magelang)
E. Hikmah Tragedi Pembantaian Penduduk di Kampung Tulung
Setiap peristiwa sejarah di mana saja, pasti memiliki hikmah yang positif dari setiap perjuangan yang telah direalisasikan. Meskipun perjuangan antara cita-cita dan harapan kadang-kadang berbeda, tetapi kisahnya dapat menjadi pelajaran yang berharga. Manusa jangan mengulang kesalahan kedua kali dari peristiwa yang pernah dialaminya. Apabila terjadi kembali, maka sama saja manusia itu tidak pernah belajar sejarah.
Adapun hikmah dari tragedi pembantaian penduduk sipil dikampung Tulung sebagai berikut:
1. Kebulatan tekat para pemuda Magelang yang berani melucuti senjata Tentara Jepang. Para pemuda berdalih kemerdekaan harus dipertahankan melalui kekuatan militer, maka diperlukan modal senjata yang bersumber pada hasil pelucutan senjata Tentara Jepang. Senjata-senjata itu dapat menjadi modal perjuangan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua.
2. Penduduk sipil Kampung Tulung terkejut ketika Tentara Kido Butai datang di Kantor Kelurahan Magelang. Tidak ada perlawanan sehingga banyak di antara mereka yang gugur. Seharusnya membangun komunikasi diperlukan karena dapat meniadakan korban jiwa. Oleh sebab itu, kewaspadaan diperlukan melalui kesadaran dalam menghadapi berbagai masalah.
3. Kemandiran para pemuda ketika berjuang mempertahankan dan mengisi kemerdekaan patut direnungkan, bahkan kalau perlu menjadi suatu inspirasi kemandirian dalam pembangunan.
4. Tidak mengenal individulaistik dalam berjuang, melainkan kebersamaan dan saling pengertian ketika menghadapi ancaman. Ancaman apapun dapat diatasi dengan baik, manakala para pemuda tidak egoistik. Sebaliknya kepentingan umum harus dinomorsatukan.
5. Sejalan dengan program Kemendiknas tentang pendidikan berbasis karakter, maka semangat dan ketangguhan para pemuda Magelang dalam upaya melucuti Tentara Jepang, merupakan bukti bahwa para pemuda Magelang memiliki karakter yang kuat. Nilai-nilai perjuangan seharusnya menjadi pendorong generasi sekarang untuk berjuang menuju Bangsa Indonesia yang mandiri.

-ww-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar