A. Berita Proklamasi Kemerdekaan Sampai di Kota Magelang
Kekaisaran Jepang menyerah
kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pimpinan Sekutu Amerika
Serikat menunjuk Inggris untuk melucuti senjata dan mengembalikan
tentara Jepang ke Negara asalnya. Namun kedatangan pasukan Inggris ke
Indonesian terlambat, sehingga dimanfaatkan oleh para pemuda
dipergunakan sebaik-baiknya untuk memproklamirkan kemerdekaan tepat pada
tanggal 17 Agustus 1945 (Sumarmo, 1991: 85).
Di Magelang berita
kemerdekaan ini belum terdengar. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus
1945, R.P Soeroso langsung berangkat ke Jakarta untuk memastikan berita
kemerdekaan itu.
Bupati Kabupaten Magelang,
R.A.A. Sosrodiprodjo sebagai Kentyo baru mengetahuinya setelah pada
tanggal 21 Agustus 1945 Syutyokan (Residen Kedu) R.P. Soeroso tiba di
Magelang dari Jakarta. Tepatnya tanggal 3 September 1945 pukul 21. 00
WIB, rakyat Magelang telah berkumpul untuk mendengar secara resmi
pengumuman telah diproklamirkannya Indonesia merdeka dan menyatakan karesidenan Kedu menjadi bagian dari negara Indonesia (Pemda Kab.Magelang, 1974: 62).
R.P. Soeroso diangkat
menjadi Gubernur Jawa Tengah. Beliau sebelum meninggalkan Kota
Magelang, terlebih dahulu mengadakan konsulidasi untuk merencanakan
pengambilan alih kekuasaan sipil dari tangan Jepang. Berkat usulan para
tokoh Barisan Pelopor, maka pada tanggal 10 September 1945 dilaksanakan
petemuan di rumah Dr. Mardjaban di jalan Sultan Agung No. 09
(Adiwiratmoko, 1998: 6). Dalam Petemuan dihadiri oleh kepala kantor dan
Jawatan pemerintah bangsa Indonesia, unsur KNI dan beberapa tokoh
pemuda. Keputusan yangdiambil antara lain:
1. Semua pegawai pemerintah menyatakan setia kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan tidak akan tunduk atas perintah para pembesar Jawatan yang terdiri dari orang-orang Jepang.
2. Membentuk beberapa sayap pemuda untuk dapat diajak bersama-sama mengatasi segala persoalan.
3. Para
pemuda dalam waktu singkat telah berhasil mengambil kekuasaan
kantor-kantor pemerintah kota Magelang sehingga jangan sampai jatuh ke
tangan pasukan Inggris.
Magelang sebagai markas
tentara Jepang tidak lepas dari aksi pengambilalihan kekuasaan.
Masyarakat Magelang melakukan aksi-aksi itu secara paksa. Markas tentara
yang berada di jalan Kartini dan markas polisi militer Jepang berada di
jalan Tidar masih lengkap persenjataannya. Para pemuda yang menjadi
anggota badan-badan perjuangan merencanakan untuk merebut senjata dari
tangan Jepang . Mula-mula pelucutan senjata balatentara Jepang dan
polisi bentukannya dilakukan tanpa koordinasi dan secara perseorangan
(Dinas Sejarah Militer Kodam VIII/ Diponegoro, 1977: 213).
Pada tanggal 23 September
1945 para pemuda dengan dipimpin oleh tokoh-tokoh Barisan Pelopor
mengadakan aksi pengambilalihan kekuasaan pemerintah sipil dengan
menduduki kantor-kantor dan jawatan-jawatan pemerintah. Kemudian para
wakil-wakil kepala kantor dan jawatan yang dijabat oleh orang Indonesia
menduduki jabatan kepala yang pada watu itu masih diduduki oleh
orang-orang Jepang, aksi berikutnya pada dinding gedung kantor dan
perusahaan-perusahaan diberi tulisan “MILIK RI” (Wawancara dengan
Suhendro pada tanggal 12 Agustus 2010)
Pada malam harinya kelompok
pemuda mengadakan rapat di markas Pemuda Indonesia Maluku (PIM) di jalan
Poncol (sekarang jalan A.Yani, di depan gedung Guesthous Zipur). Salah
satu keputusan yang dambil ialah bahwa pada malam hari itu juga para
pemuda akan mengadakan penempelan Plakat Bendera Merah Putih di seluruh
kota. Maka pada pagi harinya seluruh kota dimulai dari Kelurahan Kramat
yang paling utara hingga Kelurahan Tidar yang paling selatan telah
tertempel plakat Bendera Merah Putih (Adiwiratmoko, 1998: 7-9).
B. Upaya-Upaya Melucuti Persenjataan Tentara Jepang
Situasi dan kondisi daerah
Magelang makin gawat dengan terjadinya insiden-insiden antara rakyat
Magelang dan bala tentara Jepang. Proses peralihan kekuasaan dari
pemerintah pendudukan Jepang ke pemerintah RI diiringi berbagai konflik
dari sisa-sisa tentaranya yang masih berkeliaran di Magelang. Hal ini
disebabkan pasukan Jepang berubah fungsi sebagai alat Sekutu yang
berkewajiban menjaga satus quo menjelang pendaratan tentara Inggris di
Indonesia.
Pada tanggal 12 Oktober 1945
diadakan perundingan antara pemimpin pemerintah, pihak militer, pihak
badan-badan perjuanagn di rumah R.P. Soeroso (Residen Kedu merangkap
Gubernur JawaTengah). Rapat dihadiri para pejuang bangsa ini menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Pihak Jepang harus menyerahkan senjata pada pihak RI dengan sukarela maupun kekerasan.
2. Perlu dibentuk delegasi di pihak Indonesia untuk berunding dengan Mayor Jenderal Nakamura (Adiwiratmoko, 1998: 24).
Masyarakat Magelang melucuti senjata secara
damai, dimulai pada tanggal 13 Oktober 1945, mereka mengirim delegasi
perundingan ke Markas Nakamura Butai di jalan Kartini. Delegasi ini
terdiri dari 3 orang wakil rakyat yaitu Mayor Maryadi selaku kepala staf
Residen BKR, IP I Legowo selaku pejabat kepolisian kota Magelang dan
Tartib Prawiradihardjo selaku anggota KNI. Mereka berunding dengan Mayor
Jenderal Nakamura guna mencari penyelesaian masalah pemerintah militer
Jepang yaitu dengan penyerahan senjata kepada bangsa Indonesia.
Sementara di luar gendung pasukan rakyat yang
terdiri dari BKR, Polisi, dan berbagai laskar perjuangan telah
mengepung markas. Perundingan ternyata tidak mencapai kesepakatan,
akhirnya tanggal 14 Oktober 1945 serangan dimulai. Penyerangan pertama
ditujukan pada penjagaan tentara Jepang di Homma Butai yang bermarkas di
Kaderschool. Hasil pelucutan persenjataan milik tentara Jepang mencapai
500 pucuk senjata. Kedua menangkap Jenderal Nakamura dan tentara Jepang, selanjutnya mereka diangkut ke Purworejo, Kebumen dan Gombong untuk diserahkan kepada RAPWI (Recovery Allied Prisoners and War Internees) (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 1998: 61).
C. Fitnah NICA
Pada tanggal 24 September
1945, Sembilan tentara Inggris mendarat di Lapangan Tidar setelah
diterjunkan dari pesawat terbang. Pendaratan mereka menjadi perhatian
penduduk Magelang, karena sejak pendudukan Jepang di Magelang belum
pernah ada penerjunan langsung dari pesawat. Akhirnya penduduk sekitar
Lereng Tidar itu mendekat untuk melihat secara langsung siapa kesembilan
penerjun payung itu. Ternyata kesembilan penerjun payung itu adalah
Tentara Inggris yang berasal dari kesatuan Recovery Allied Prisoners and War Internees
(RAPWI). Hal itu bisa diketahui dari pakaian seragam yang dipakai
kesembilan orang itu. Pada lengan kiri terdapat simbul palang merah dan
peralatan-peralatan militer dan medis medis (Wawancara dengan Soehendro
pada tanggal 12 Agustus 2010)
Untunglah ada pimpinan polisi Ip.I.Legowo
yang cepat mengatasi situasi. Penduduk Magelang berusaha untuk mendekat
akhirnya dapat ditahan dan diberi pengertian supaya tidak melakukan
tindakan perlawanan. Beliau menjelaskan bahwa kesembilan orang itu
bukanlah orang NICA, melainkan tentara Inggris yang akan bertugas
melucuti senjata dan mengembalikan Tentara Jepang ke negara asalnya
(Soehendro, 2008: 4). Untuk sementara waktu Kesembilan Tentara Inggris
itu menginap di Hotel Nitaka Magelang dengan penjagaan Tentara Jepang
yang kuat.
Bersamaan itu, sekelompok
pemuda mengadakan aksi penempelan plakat merah putih dan corat-coret di
tembok-tembok jalan utama di seluruh Kota Magelang. Tujuan aksi tersebut
adalah sebagai bentuk kebulatan tekat pemuda Magelang untuk
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 24
September 1945, salah satu plakat merah putih yang tertempel di dinding
Hotel Nitaka disobek oleh Tentara Jepang. Kebetulan ada sekelompok
pemuda melihat penyobekan itu sehingga menimbulkan emosi, maka
terjadilah saling mencaci maki yang berakhir dengan salah seorang pemuda
tertembak (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 55). Akhirnya Jenderal Nakamura
berjanji akan menyelesaikan kejadian di Hotel Nitaka itu melalui
pengadilan militer di Markas Kenpeitei di Jalan Tidar Kota Magelang.
Pada tanggal 26 Oktober
1945, Tentara Inggris datang di Magelang dari Semarang. Kendaraan
militer seperti tank, pankser, truk, dan jeep memadati jalan di
sepanjang Jalan Utama di Kota Magelang. Tentara Inggris itu di bawah
pimpinan Letnan Kolonel HG.Edward. Namun yang menarik justru Tentara
Inggris kebanyakan orang Gurkha (India Sikh). Mereka membangun markas di
Jalan Menowo, Gedung Susteran, dan Sociatet. Di setiap markas tentara
Inggris dikibarkan Bendera Inggris, yang justru menimbulkan
gesekan-gesekan dengan para pemuda Magelang. Tuntutan para pemuda
sederhana, supaya bendera Inggris diturunkan dan digantikan dengan
bendera merah putih.
Sementara itu, orang-orang
Belanda yang sering disebut NICA secara diam-diam mulai beraksi di Kota
Magelang. Adapun aksinya adalah mengeluarkan para
interniran yang dipenjarakan di Markas Keipentei, mengibarkan Bendera
Belanda, dan melakukan aksi-aksi memancing kemarahan pemuda Magelang.
Berbeda dengan Tentara Inggris yang disibukan dengan pelucutan senjata
dan pengembalian Tentara Jepang, sehingga aksi orang-orang NICA itu
tidak bisa dipantau.
Melihat situasi semakin
tidak terkendali, pihak NICA mencoba mempengaruhi Tentara Inggris untuk
mendatangkan Tentara Jepang dari Semarang. NICA berdalih bahwa Tentara
Jepang masih bertugas menjaga keamanan Indonesia, sebelum diserahkan
kepada negara pemenang perang. Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 1945
salah seorang komandan NICA mengirim kabar kepada komandan Tentara
Kidobutai di Semarang. Isi kabar itu ternyata fitnah, bahwa banyak
Tentara Jepang yang tidak bersenjata dipenggal kepalanya oleh penduduk
Magelang, dan Jenderal Nakamura dianiya hingga tewas.
Tindakan Nica itu sama saja
memanfaatkan emosi Tentara Jepang, yang masih frustasi akibat kalah
perang melawan Tentara Sekutu. Praktis komandan Tentara Kido butai
(Pasukan Gerak Cepat Jepang) akan membalas tindakan penduduk Magelang.
Tidak ada upaya melakukan penyelidikan dahulu mengenai peristiwa
sebenarnya. Pada hal kejadian yang sebenarnya adalah bahwa di Kota
Magelang sedang terjadi upaya-upaya pelucutan senjata di gudang-gudang
senjata milik Tentara Jepang, sedang Jenderal Nakamura justru
diselamatkan oleh para pemuda Magelang eks Heiho dan Peta. Sebelum
dibawa ke Semarang, Jenderal Nakamura dibawa ke Gombong oleh komandan
Heiho Magelang (Wawancara dengan Soehendro pada tanggal 15 Agustus 2010)
D. Terjadinya Pembantaian di Kampung Tulung
Pada tanggal 28 Oktober 1945, tentara bantuan Jepang dari
Semarang sebanyak 7 truk menurunkan personelnya di pertigaan jalan
Payaman pada jam 08.00 WIB. Tentara Kido Butai dibagi menjadi 2 kelompok
untuk menyerang Kota Magelang. Kelompok pertama dari pertigaan Payaman
terus bergerak ke Selatan. Kelompok kedua menuju kearah barat sampai di
mata air Kalibening, kemudian ke selatan melalui menelusuri Sungai
Bening menuju Kampung Tulung.
Dalam perjalanan Tentara Kido Butai dari kelompok pertama melewati payaman, Kedungsari, Taman Bada’an, Kampung Dukuh, dan sampai
di sebelah timur Kampung Tulung. Kelompok kedua Tentara Kido Butai yang
mengambil arah selatan, mereka berjalan menuju arah kecamatan Windusari
yang kemudian berhenti pada mata air Kali Bening. Selanjutnya menyusuri sungai Bening hingga sampai sebelah timur Kampung Tulung.
Sebagian Tentara Kido Butai memotong jalan
yang kemudian menyelinap melalui Pemakaman Nglarangan dan terus melewati
sawah-sawah yang terletak sebelah barat makam menuju selatan
selanjutnya masuk melalui utara Kampung Tulung. Dengan demikian dapat
dapat disimpulkan, bahwa taktik Jepang untuk melumpuhkan Tentara
Keamanan Rakyat di Kampung Tulung dengan mengepung segala arah jalan
keluar dari kampung tersebut sehingga penduduk tidak dapat meloloskan
diri dari kepungan Tentara Kido Butai.
Tentara Kido Butai melakukan perjalanan
menuju Kampung Tulung, menembaki setiap orang yang berada dihadapannya,
tidak ada belas kasihan sehingga baik laki-laki, perempuan, dan anak
kecil pun menjadi korban kekejaman. Demikian pula ketika
melalui Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO) Guverment sekarang SMP
Negeri 1 Magelang, Tentara Kido Butai juga menambak para pelajar yang sedang mengikuti kegiatan Belajar mengajar sehingga menyebabkan terbunuhnya Soemiatdjo, Soesilo, dan Soediro. Untuk mengenang gugurnya ketiga pelajar ini didirikanlah Monumen Rantai Kencana yang berada di lingkungan SMP Negeri 1 Magelang.
Sesampainya di Kampung Tulung, Tentara Kido
Butai yang mengambil arah barat atau selatan langsung dengan kejam
membantai penduduk Kampung Tulung tersebut. Dalam waktu sangat
singkat Tentara Kido Butai telah sampai di belakang Kelurahan, dan oleh
para pemuda yang berada di Kelurahan mengira bahwa itu adalah kawan
sendiri yang berasal dari Tentara Keamana Rakyat (BKR). Para Pemuda sibuk menyiapkan makan siang bagi para pejuang, karena di Kelurahan itu adalah penyelenggara Dapur Umum.
Kedatangan mendadak Tentara Kido Butai menyerang para pemuda yang tidak bersenjata untuk melawan. Akibatnya, penduduk Kampung Tulung yang berada di sekitar dan dalam Kantor Kelurahan dibantai dengan kejam.
Jumlah penduduk Kampung Tulung tewas yang berhasil teridentifikasi
berjumlah 42 orang, pemuda 42 orang, 16 pejuang, dan 26 anggota TKR
berasal dari Kelurahan Magelang (Berdasarkan wawancara dengan Soehendro
pada tanggal 20 Agustus 2010)
Adapun Daftar Penduduk Tulung dan Dukuh Kelurahan Magelang sebagaimana tercantum dibawah ini :
NO
|
NAMA
|
ASAL
|
TEMPAT GUGUR
|
KETERANGAN
|
1
|
SOPAWIRO PEMUDA
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
2
|
R.E. DOERAJAT
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
3
|
LUSI
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
4
|
MUHAMAD
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
5
|
ATMOROTO
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
6
|
KROMO PAWIRO
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
7
|
IMAM SAMSURI
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
8
|
SYAFI’I
|
KAMPUNG TULUNG
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
9
|
AMAT DASIMAN
|
KAMPUNG DUKUH
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
10
|
KARTO LICHIN
|
KAMPUNG DUKUH
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
11
|
SUMARDJO
|
KAMPUNG DUKUH
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
12
|
SETO
|
KAMPUNG DUKUH
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
13
|
ALABIN
|
KAMPUNG DUKUH
|
BADA’AN
|
PEMUDA PEJUANG
|
14
|
KARTO PAWIRO
|
KAMPUNG DUKUH
|
BADA’AN
|
PEMUDA PEJUANG
|
15
|
RUSMIN
|
KAMPUNG DUKUH
|
KAMPUNG TULUNG
|
PEMUDA PEJUANG
|
16
|
NY.AMAT
|
KAMPUNG DUKUH
|
BADA’AN
|
PEMUDA PEJUANG
|
17
|
26 ANGGOTA BKR GUGUR DI KAMPUNG TULUNG KELURAHAN MAGELANG
|
(Dikutip dari: Soeratmin,dkk. Peristiwa
Sejarah Perjuangan Mempertahankan Dan Menegakkan Kemerdekaan Republik
Indonesia yang Terjadi di Kampung Tulung Kelurahan Magelang Pada Akhir
Oktober Tahun 1945, Magelang: Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Magelang)
E. Hikmah Tragedi Pembantaian Penduduk di Kampung Tulung
Setiap peristiwa sejarah di
mana saja, pasti memiliki hikmah yang positif dari setiap perjuangan
yang telah direalisasikan. Meskipun perjuangan antara cita-cita dan
harapan kadang-kadang berbeda, tetapi kisahnya dapat menjadi pelajaran
yang berharga. Manusa jangan mengulang kesalahan kedua kali dari
peristiwa yang pernah dialaminya. Apabila terjadi kembali, maka sama
saja manusia itu tidak pernah belajar sejarah.
Adapun hikmah dari tragedi pembantaian penduduk sipil dikampung Tulung sebagai berikut:
1. Kebulatan
tekat para pemuda Magelang yang berani melucuti senjata Tentara Jepang.
Para pemuda berdalih kemerdekaan harus dipertahankan melalui kekuatan
militer, maka diperlukan modal senjata yang bersumber pada hasil
pelucutan senjata Tentara Jepang. Senjata-senjata itu dapat menjadi
modal perjuangan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda Pertama dan
Kedua.
2. Penduduk
sipil Kampung Tulung terkejut ketika Tentara Kido Butai datang di
Kantor Kelurahan Magelang. Tidak ada perlawanan sehingga banyak di
antara mereka yang gugur. Seharusnya membangun komunikasi diperlukan
karena dapat meniadakan korban jiwa. Oleh sebab itu, kewaspadaan
diperlukan melalui kesadaran dalam menghadapi berbagai masalah.
3. Kemandiran
para pemuda ketika berjuang mempertahankan dan mengisi kemerdekaan
patut direnungkan, bahkan kalau perlu menjadi suatu inspirasi
kemandirian dalam pembangunan.
4. Tidak
mengenal individulaistik dalam berjuang, melainkan kebersamaan dan
saling pengertian ketika menghadapi ancaman. Ancaman apapun dapat
diatasi dengan baik, manakala para pemuda tidak egoistik. Sebaliknya
kepentingan umum harus dinomorsatukan.
5. Sejalan
dengan program Kemendiknas tentang pendidikan berbasis karakter, maka
semangat dan ketangguhan para pemuda Magelang dalam upaya melucuti
Tentara Jepang, merupakan bukti bahwa para pemuda Magelang memiliki
karakter yang kuat. Nilai-nilai perjuangan seharusnya menjadi pendorong
generasi sekarang untuk berjuang menuju Bangsa Indonesia yang mandiri.
-ww-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar