„Masa bersiap“ (Bersiap-tijd)
merupakan suatu masa yang relatif pendek dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia, yaitu sekitar empat bulan terhitung sejak Jepang
menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu. Masa ini merupakan periode
yang sangat kritis dan menentukan, yang digambarkan sebagai periode yang
kacau, sarat dengan berbagai tindakan kekerasan, penjarahan, bahkan
pembunuhan massal. Hal itu terjadi karena kosongnya kekuasaan (vacum of power)
sehingga tidak ada yang mampu mengontrol keadaan. Pada waktu itu
pemerintah lama (Jepang) telah runtuh, sementara pemerintahan baru
(Republik Indonesia) masih sangat lemah.
Dr. Lambert Giebels, penulis buku “Soekarno, 1901-1950″ dalam sebuah wawancara dengan wartawan Tempo menilai bahwa revolusi Indonesia tak lepas dari berbagai anarkisme. Dr.
Lambert Giebels menceritakan betapa banyak massa pemuda di saat
revolusi melakukan serangkaian tindak kriminal seperti menjarah,
memerkosa perempuan, serta membunuh dengan darah dingin. Misalnya
peristiwa 10 November di Surabaya. Banyak perempuan Belanda, Indo, dan
keturunan Cina diperkosa dan dibunuh massa. Ini agak berbeda dengan
penilaian Ben Anderson yang begitu heroik dan romantik tentang revolusi
pemuda Indonesia.
Seperti disampaikan oleh van Doorn: „Maar
voor goed begrijp van de maatschappelijken historische betekenis van
deze periode is het nuttig te beseffen dat de „bersiap“ veel meer was;
een revolutionair proces, waarbij met geweld van wapenen een sociale
opstand werd doorgevoerd en een collectief nationaal sentiment werd
gedemonstreed, gericht tegen terugkeer van de „kolonie“ (van Doorn,
1983). Artinya, masa bersiap secara sosial-historis ditafsirkan
sebagai suatu proses perubahan yang revolusioner, di mana terjadi suatu
gerakan sosial dengan kekerasan/bersenjata yang disertai sentimen
nasional secara kolektif yang ditujukan terhadap penguasa kolonial yang
hendak berkuasa kembali.
Kebanyakan sejarawan sependapat bahwa periode “Bersiap”
itu berlangsung dari 1 September 1945 hingga 1 Januari 1946, tatkala
rakyat Indonesia bangkit serentak menentang kembalinya kolonialisme
Belanda. Pekik perjuangan yang terdengar masa itu adalah “Bersiap”.
Pemuda beserta rakyat bersenjata bambu runcing, golok, dan sedikit
senjata api menyerang pos-pos tentara NICA-Belanda.
Beberapa kasus yang terjadi sekitar bulan September 1945-Agustus 1946 di Jakarta-Tangerang (Cribb, 1991), Banten (Iskandar, 1992), „Tiga Daerah“ (Lucas, 1991), Sumatera Timur (Kahin, 1971) dan Sumatera Timur (Reid) yang disebut oleh Nasution dan Anderson (1972) sebagai „revolusi sosial“, menunjukkan bahwa penyebab terjadinya „revolusi sosial“ sangat beragam.
Peristiwa Banten
Dalam masa bersiap, setelah proklamasi
kemerdekaan dan tentara Inggris mendarat di Jakarta, terjadi
tindakan-tindakan kekerasan terhadap apa saja yang dianggap sebagai
“kolonial”. Banten di zaman kolonial Belanda sudah dikenal sebagai
tempat pemberontakan kaum komunis tahun 1926. Pertengahan Agustus 1945
meletus kekacauan di Anyer yang secara ekonomi sangat menderita akibat
perang dan pendudukan Jepang. Waktu itu wedana setempat Raden
Soekrawardi dibunuh.
Kekacauan itu memicu pemimpin-pemimpin
Islam, golongan komunis dan gerombolan untuk mengambil alih pemerintah,
menduduki posisi pangreh praja. Inilah yang dinamakan “zaman daulat”,
artinya rakyat merebut kekuasaan pemerintah yang ada, lalu menjalankan
sendiri kekuasaan tersebut.
Ungkapan “rakyat mendaulat” atau “bupati
anu didaulat” menjadi umum dipakai. Tanggal 6 Oktober 1945 “rakyat yang
mendaulat” itu mengangkat Kiai Chatib selaku Residen Banten,
menggantikan pejabat yang telah diangkat oleh pemerintah RI. Regent
atau Bupati Serang Raden Hilman Djajadiningrat dan beberapa menak
(priayi) lain ditangkap. Bupati Lebak Raden Hardiwinangun dibunuh.
Pegawai-pegawai pamong praja republik diganti oleh golongan ulama.
Sebuah dewan rakyat yang revolusioner dibentuk lengkap dengan kekuatan
kepolisian sendiri.
Peristiwa Tiga Daerah
Di bulan Desember 1945 terjadi pula Peristiwa Tiga Daerah yaitu timbulnya perubahan bestuur
akibat rakyat mendaulat di tiga Kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang
di Jawa Tengah. Pada Oktober dimulai aksi kekerasan dan pembunuhan
terhadap golongan priyayi yang dibenci oleh rakyat, selanjutnya
terhadap kaki tangannya seperti lurah, wedana, polisi, Tionghoa, Indo
Belanda, Ambon. Bupati dan Patih Pemalang dimasukkan ke dalam penjara,
Bupati Tegal dipaksa melarikan diri. Seorang mantan anggota PNI dan PKI
ilegal sebelum perang bernama Sardjio diangkat oleh “rakyat yang
mendaulat” selaku Residen Pekalongan, menggantikan residen yang
diangkat oleh Republik yaitu Mr. Besar.
Insiden Bendera
Rakyat berkerumun menyatakan amarahnya.
Bung Tomo berdiri di mobil berpidato di depan massa. Akibatnya, massa
menyerbu bendera Belanda itu dan diturunkan. Bagian birunya disobek,
tinggal bagian merah dan putih, lalu dikibarkan kembali. Orang-orang
Belanda yang berada di Gedung Palang Merah Internasional dekat Oranye
Hotel bereaksi. Timbul perkelahian antara Belanda dan pemuda. Itulah
yang disebut vlagincident te Surabaya.
Setelah insiden tersebut, sebagian pemuda
di bawah pimpinan Sumarsono mendirikan PRI (Pemuda Republik
Indonesia). Pada 23 September Bung Tomo mendirikan Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Pada 24 Oktober, tentara Inggris tiba di
Surabaya, dipimpin oleh Brigjen AWS Mallaby (42). Drg Moestopo
mengatakan kepada Inggris agar jangan mendarat. Mallaby berbicara
dengan Moestopo dan berkata tetap akan mendarat. Inggris melalui udara
menyebarkan selebaran dan kepada pihak Indonesia diberikan waktu hingga
30 Oktober untuk menyerahkan senjatanya. Pada 27 Oktober lapangan
terbang Morokrembangan diduduki oleh Inggris. Sepanjang malam Radio Pemberontakan menyiarkan pidato Bung Tomo yang berapi-api.
Pada 28 Oktober, pertempuran meledak.
Tentara Inggris kewalahan. Presiden Soekarno diminta oleh Jenderal
Christison untuk turun tangan melerai. Pada 29 Oktober, Bung Karno,
Bung Hatta, dan Bung Amir Sjarifuddin, dengan menumpang pesawat RAF
tiba di Surabaya.
Pada 30 Oktober, Jenderal Hawthorn datang
dari Jakarta. Perundingan diadakan. Bung Tomo hadir bersama Roeslan
Abdulgani, Gubernur Jatim Soerio, Residen Surabaya Sudirman, Sungkono,
Sumarsono, dan D Atmadji. Gencatan senjata tercapai. Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan Inggris berusaha menghentikan pertempuran. Pemuda
berhasil mengalahkan dan merendahkan martabat Brigade ke-49 Inggris.
Pada 30 Oktober, Brigjen Mallaby tertembak di depan Gedung Internatio.
Pada 31 Oktober, Soekarno mendengar berita kematian Mallaby yang
kemudian dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.
Tanggal 2-3 November, Divisi Kelima
Inggris tiba di Surabaya dari Malaka. Juga tiba Jenderal Mansergh.
Pada 7 November, diselenggarakan pertemuan antara Mansergh dan
Gubernur Soerio. Tidak tercapai persetujuan. Mansergh memberikan
ultimatum: pihak Indonesia menyerahkan senjatanya. Pemuda menolak.
Pada 10 November, Inggris mengebom Surabaya. Pemuda memberikan
perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Surabaya. Pemuda memberikan perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Pemberontakan
mengobarkan semangat menentang tentara Inggris dan kembalinya
kolonialisme Belanda. Pemuda dan pemudi memperlihatkan pengorbanan,
rakyat maju tak gentar. Sekitar 6.000 orang Indonesia tewas di medan
pertempuran Surabaya. Tanggal 10 November dijadikan Hari Pahlawan.
Pertempuran Kotabaru
Pada masa awal proklamasi ini situasi
sangat mencekam dan ketegangan terjadi di mana-mana demikian pula di
Yogyakarta. Suasana kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945
diliputi oleh nyalanya api revolusi. Teriak siap dan pekik merdeka
terdengar di mana-mana. Ratusan pemuda bersenjatakan bambu runcing,
tombak, pedang, keris dan sebagainya bertekad bulat akan menurunkan
bendera Hinomaru di gedung¬gedung pemerintah dan diganti dengan Sang
Saka Merah Putih.
Pada pukul 13.00 di depan Balai Mataram
berkumpul massa rakyat. Mereka beramai-ramai mengibarkan Sang Saka
Merah Putih di Balai Mataram. Setelah berhasil mengibarkan Sang Saka
Merah Putih di Balai Mataram, massa rakyat dengan gagah berani memasuki
Tyookan Kantai dengan tujuan yang sama.
Sebelum penurunan bendera Hinomaru dan
pengibaran Sang Saka Merah Putih di Tyookan Kantai itu diadakan
perundingan dengan Koochi Zimmukyoku Tyookan di Tyookan Kantai. Sebagai
juru bicara rakyat adalah Jalaludin Nasution Sekretaris Promotor
Pemuda Nasional (PPN). Sementara itu dua orang anggota Polisi Istimewa
yaitu Sunarjo dan sarjono ikut menyaksikan perundingan antara Jalaludin
Nasution dengan petinggi Jepang. Pada mulanya pihak Jepang menyetujui
permintaan delegasi rakyat, yaitu penurunan bendera Hinomaru dan
pengibaran Sang Saka Merah Putih. Akan tetapi setelah Sang Saka Merah
Putih dikibarkan, Jepang ingkar janji. Penguasa Jepang kemudian
menurunkan Sang Saka Merah Putih dan mengibarkan kembali bendera
Hinomaru. Hal ini membuat rakyat marah dan mereka berkumpul di depan
Tyookan Kantai. Dengan semangat yang berkobar massa rakyat dengan
dibantu Polisi Istimewa berusaha menerobos penjaga Jepang yang
bersenjata. Tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, lima orang muda
yaitu Slamet, Sultan Ilyas, sapardi, Rusli dan Siti Ngaisah berhasil
menerobos penjaga Jepang dan kemudian naik di atas atap gedung Tyookan
Kantai untuk menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan
Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itulah sebagai awal runtuhnya Jepang
di Yogyakarta. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 gedung Tyookan
Kantai berhasil direbut dan dikuasai massa rakyat. Selanjutnya gedung
ini dipergunakan sebagai gedung Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Yogyakarta. (R. Sunardjo, 1974 : 3 – 4 lihat juga Djamal Marsudi; 1985
: 55 – 56). Gedung Tyookan Kantai ini setelah dipergunakan Komite
Nasional Indonesia Daerah diberi nama Gedung Nasional Yogyakarta
(Tashadi; dkk, 1985 : 49).
Dua hari kemudian yaitu pada tanggal 7
Oktober 1945 terjadi usaha pelucutan senjata Jepang di Kido Butai
Kotabaru. Mula-mula usaha pelucutan dilakukan secara damai melalui
perundingan, tetapi gagal. Oleh karena pelucutan senjata secara damai
gagal, maka massa rakyat menyerang Kido Butai Kotabaru sehingga terjadi
pertempuran yang sengit. Tentara Jepang kewalahan dan akhirnya
menyerah.
Dalam pertempuran Kotabaru, pihak rakyat
gugur 21 orang dan luka-luka 32 orang sedang pihak Jepang meninggal 9
orang 20 orang luka-luka. Jenazah para pahlawan tersebut sebelum
dimakamkan, disemayamkan lebih dahulu di Gedung Nasional Yogyakarta.
Dari 21 korban, 18 orang dimakamkan di Semaki (Taman Makam Pahlawan)
sedangkan yang 3 orang dimakamkan di Karangkajen dan Kauman (Djamal
Marsudi dkk, 1985 : 55 – 56 : lihat juga Suratmin, dkk, 1982 : 229).
Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota
Jakarta makin menjadi buruk. Pembunuhan dan penculikan oleh tentara
Belanda (NICA) sering terjadi tiap hari. Pendaratan pasukan marinir
Belanda di Tanjung Priuk pada tanggal 30 Desember 1945 menambah
gentingnya keadaan. Mengingat keamanan yang semakin buruk itu. Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 4 Januari 1946
pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itu Yogyakarta menjadi ibukota
Republik Indonesia. Perdana Menteri Sutan Syahrir untuk sementara tetap
di Jakarta. Namun karena situasi Jakarta bertambah gawat, Perdana
Menteri Sultan Syahrir menyusul ke Yogyakarta.
Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota
Republik Indonesia berdasarkan pertimbangan antara lain : 1) Sultan
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII bersikap tegas dalam mendukung
berdirinya Negara Republik Indonesia; 2) Rakyat Yogyakarta dapat
menyesuaikan diri dengan cita-cita dan semangat revolusi. Presiden
Sukarno setelah pindah di Yogyakarta menempati Gedung Nasional. Itulah
sebabnya rakyat menamakan Gedung Nasional dengan nama gedung
Kepresidenan (M. Alwi Dahlan, PHD (et.al), 1979 : 164). Sedangkan wakil
Presiden Moh. Hatta menempati Gedung Asisten Residen di jalan
Reksobayan 4 yang sekarang dipergunakan Makarem 072 Pamungkas
Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Gedung Asisten Residen ini
dipergunakan sebagai tempat tinggal Somobucho atau Kepala Urusan Umum.
Peristiwa di Kabupaten Bogor
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang
datang ke Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi.
Pihak intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan
sepengetahuan aparatur pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut
dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir
penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit
mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun keselamatan mereka
tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok yang
mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang
dan Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen
menyebutkan bahwa dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa
aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik.
Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi
tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi
RI, maka aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai
tindakan kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya,
dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa
diburu oleh BKR dan Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di
lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta
Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik pria, wanita, maupun anak-anak
ditelanjangi hingga tinggal celana dalam dan BH. Semua pakaian dan
perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan
pengawasan Barisan Pelopor (I b i d).
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan
kepada pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan
Belanda, kadangkala juga menimpa orang-orang republikein. Tidak
sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk
kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat
sebagai Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari
anak buahnya bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama
anak-anaknya, salah satunya masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia
sempat menemui kedua wanita itu dan berjanji akan membawanya ke Bogor
untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman. Namun keeskan harinya
sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah kedua wanita
tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang berjumlah
12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya.
Seluruh harta bendanya habis dijarah (Ramadhan KH, 1988: 74).
Dari sekian banyak aksi dengan tindak
kekerasan, maka aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang
merupakan aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan
Bogor, khususnya di tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan
dari Lasykar Gulkut (Gulung Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen
Bogor R. Barnas Tanuningrat dan Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan
mencopot jabatannya. Setelah itu semua pejabat pemerintah RI yang ada di
Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki Nariya kemudian mundur ke
Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur setempat dilucutinya dan
diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje Mamat dengan
lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena
melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris
mendapat pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat
informasi tentang perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar
Jakarta-Bogor, sehingga nyaris mengakui kepemimpinannya. Namun setelah
menerima laporan dari Bogor, pimpinan di Jakarta memerintahkan agar
pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera menindak tegas gerakan Ki
Nariya-Tje Mamat itu (Ramadhan KH, 198: 62-63 dan lihat juga Laporan
Agen Khusus tgl. 25 Maret 1946 No.KH2/29170/G, Alegemeen Secretarie, ANRI).
Setelah menerima perintah itu, pasukan
gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor
Toha, Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa
pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi,
Lasykar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan
R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasil
mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di Dramaga. Tje Mamat sendiri
berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan gabungan, akhirnya
berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar.
Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari
Banten, dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di
Purwakarta (Sri Handajani Purwaningsih, 1984: 91).
Dalam suasana dalam negeri yang kacau
balau seperti itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris
selaku pasukan Sekutu (yang didalamnya ikut pula orang-orang
NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan
para tawanan Jepang. Seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak
peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi antara pihak RI
dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak berjalan mulus.
Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau BKR/TKR
melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat
seperti: di Depok (Merdeka No.155, 30 Maret 1946), Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur, (Merdeka No. 166, 12 April 1946), Cileungsi (Merdeka No.157, 2 April 1946), Leuwi Malang, Ciburial, dan Cikemasan (Merdeka No.
159, 4 April 1946). Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan
sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan
Inggris-Belanda melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap
ruamah-rumah penduduk (Merdeka No.155, 30 Maret 1946; No. 156, 1 April 1946 dan No. 159, 4 April 1946).
Oleh karena kurang baiknya koordinasi
antara TKR dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi
bentokan antara TKR melawan lasykar (Ramadhan Kh,1988: 61). Seringkali
pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang merugikan reputasi RI,
misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang, yang sebelumnya
telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat ke
wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor
memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju
Jakarta tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang
akan dikembalikan ke negeri asalnya (Algemeen Secretarie 1942-1950 No.
1240, ANRI).
Akhir Masa Bersiap
Jika pada awalnya pimpinan RI tidak
begitu antusias untuk membentuk tentara nasional karena ‘takut’ dicap
tidak beritikad baik dan fasis, namun dengan melihat kenyataan di
lapangan, pendirian itu berubah. Perubahan itu antara lain terlihat
dengan terbitnya maklumat tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan
Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Pada bulan Februari 1946 nama itu
diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dua minggu
kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Waktu itu penyusunan
TKR/TRI masih meniru Departemen van Oorlog KNIL di Bandung.
Menurut A.H. Nasution, semula direncanakan susunan organisasi terdiri
dari tiga divisi di Jawa dan satu di Sumatera. Namun kenyataannya waktu
itu sudah ada selusin jenderal di Yogyakarta dengan 10 divisi di Jawa
dan 6 divisi di Sumatera yang mencakup sekitar 100 resimen infantri
(Nasution, 1963).
Semakin terkordinasinya hubungan
pemerintah, TKR dan polisi, control pemerintah atas wilayah kekuasaannya
semakin baik. Kondisi itu secara perlahan-lahan mengakhiri masa tak
menentu. Memang sulit untuk memastikan, kapan tepatnya Masa Bersiap itu
berakhir, namun secara umum kondisi semacam itu berakhir setelah
peristiwa 3 Juli 1946. Walaupun setelah itu pun masih ada benalu-benalu
revolusi yang memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri.
Dari Masa Bersiap yang relatif singkat, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran atau bandingan untuk membangun masa kini. Pertama,
Masa Bersiap itu terjadi karena pemerintah pusat, karena
keterbatasannya tidak berani bertindak cepat dan tegas. Bahkan ada
kelengkapan Negara yang harus segera dibangun justru diambangkan atau
ditunda, misalnya pembentukan tentara. Padahal pada waktu itu,
kedaulatan RI sedang menghadapi ancaman yang cukup serius. Kedua,
Tidak ada koordinasi dan pembagian tugas yang jelas antara aparat
keamanan, seperti polisi dengan BKR di bawah KNID maupun dengan
badan-badan kelasykaran yang umumnya menjadi bagian dari kekuatan
politik, baik kekuatan politik agama maupun sekuler. Akibatnya, setiap
kekuatan merasa independent atau mempunyai hak otonomi untuk menafsirkan
kemerdekaan itu, yang kemudian direfleksikan dalam bentuk aksi-aksi, di
antaranya aksi-aksi kekerasan, termasuk aksi daulat. Ketiga,
dari aksi-aksi itu dapat disimak bahwa pada dasarnya manusialah yang
menentukan sejarah. Jika sejarah itu adalah (proses) perubahan, maka
manusialah agen perubahan (agent of change).
“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku.
Ia tumbuh dari perbuatan,
dan perbuatan itu adalah usahaku.”
-Syair Rene de Clerque- dalam pledoi Hatta berjudul “Indonesie Vriij”
Referensi
- Masa Bersiap di Kabupaten Bogor, Makalah Seminar Sehari tentang Kajian Lahirnya Bogor, Muhammad Iskandar, 2008.
- Yogyakarta dalam lintasan,www.koranplus.com, Suhartono.
- Bung Tomo : Surabaya Bersiap, Suara Pembaharuan Daily, Rosihan Anwar.
- Bersiap dan Daulat di Bulan Desember 1945, Milist Nasional-list, Rosihan Anwar.
- Lambert Giebels, Wawancara Majalah Tempo 4 Juni 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar