Rabu, 11 Desember 2013

Masa bersiap


„Masa bersiap“ (Bersiap-tijd) merupakan suatu masa yang relatif pendek dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu sekitar empat bulan terhitung sejak Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu. Masa ini merupakan periode yang sangat kritis dan menentukan, yang digambarkan sebagai periode yang kacau, sarat dengan berbagai tindakan kekerasan, penjarahan, bahkan pembunuhan massal. Hal itu terjadi karena kosongnya kekuasaan (vacum of power) sehingga tidak ada yang mampu mengontrol keadaan. Pada waktu itu pemerintah lama (Jepang) telah runtuh, sementara pemerintahan baru (Republik Indonesia) masih sangat lemah.
Dr. Lambert Giebels, penulis buku “Soekarno, 1901-1950″ dalam sebuah wawancara dengan wartawan Tempo menilai bahwa revolusi Indonesia tak lepas dari berbagai anarkisme. Dr. Lambert Giebels menceritakan betapa banyak massa pemuda di saat revolusi melakukan serangkaian tindak kriminal seperti menjarah, memerkosa perempuan, serta membunuh dengan darah dingin. Misalnya peristiwa 10 November di Surabaya. Banyak perempuan Belanda, Indo, dan keturunan Cina diperkosa dan dibunuh massa. Ini agak berbeda dengan penilaian Ben Anderson yang begitu heroik dan romantik tentang revolusi pemuda Indonesia.


Seperti disampaikan oleh van Doorn: „Maar voor goed begrijp van de maatschappelijken historische betekenis van deze periode is het nuttig te beseffen dat de „bersiap“ veel meer was; een revolutionair proces, waarbij met geweld van wapenen een sociale opstand werd doorgevoerd en een collectief nationaal sentiment werd gedemonstreed, gericht tegen terugkeer van de „kolonie“ (van Doorn, 1983). Artinya, masa bersiap secara sosial-historis  ditafsirkan sebagai suatu proses perubahan yang revolusioner, di mana terjadi suatu gerakan sosial dengan kekerasan/bersenjata yang disertai sentimen nasional secara kolektif yang ditujukan terhadap penguasa kolonial yang hendak berkuasa kembali.
Kebanyakan sejarawan sependapat bahwa periode “Bersiap” itu berlangsung dari 1 September 1945 hingga 1 Januari 1946, tatkala rakyat Indonesia bangkit serentak menentang kembalinya kolonialisme Belanda. Pekik perjuangan yang terdengar masa itu adalah “Bersiap”. Pemuda beserta rakyat bersenjata bambu runcing, golok, dan sedikit senjata api menyerang pos-pos tentara NICA-Belanda.
Beberapa kasus yang terjadi sekitar bulan September 1945-Agustus 1946 di Jakarta-Tangerang (Cribb, 1991), Banten (Iskandar, 1992), „Tiga Daerah“ (Lucas, 1991), Sumatera Timur (Kahin, 1971) dan Sumatera Timur (Reid) yang disebut oleh Nasution dan Anderson (1972) sebagai „revolusi sosial“, menunjukkan bahwa penyebab terjadinya „revolusi sosial“ sangat beragam.
Peristiwa Banten
Dalam masa bersiap, setelah proklamasi kemerdekaan dan tentara Inggris mendarat di Jakarta, terjadi tindakan-tindakan kekerasan terhadap apa saja yang dianggap sebagai “kolonial”. Banten di zaman kolonial Belanda sudah dikenal sebagai tempat pemberontakan kaum komunis tahun 1926. Pertengahan Agustus 1945 meletus kekacauan di Anyer yang secara ekonomi sangat menderita akibat perang dan pendudukan Jepang. Waktu itu wedana setempat Raden Soekrawardi dibunuh.
Kekacauan itu memicu pemimpin-pemimpin Islam, golongan komunis dan gerombolan untuk mengambil alih pemerintah, menduduki posisi pangreh praja. Inilah yang dinamakan “zaman daulat”, artinya rakyat merebut kekuasaan pemerintah yang ada, lalu menjalankan sendiri kekuasaan tersebut.
Ungkapan “rakyat mendaulat” atau “bupati anu didaulat” menjadi umum dipakai. Tanggal 6 Oktober 1945 “rakyat yang mendaulat” itu mengangkat Kiai Chatib selaku Residen Banten, menggantikan pejabat yang telah diangkat oleh pemerintah RI. Regent atau Bupati Serang Raden Hilman Djajadiningrat dan beberapa menak (priayi) lain ditangkap. Bupati Lebak Raden Hardiwinangun dibunuh. Pegawai-pegawai pamong praja republik diganti oleh golongan ulama. Sebuah dewan rakyat yang revolusioner dibentuk lengkap dengan kekuatan kepolisian sendiri.
Peristiwa Tiga Daerah
Di bulan Desember 1945 terjadi pula Peristiwa Tiga Daerah yaitu timbulnya perubahan bestuur akibat rakyat mendaulat di tiga Kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang di Jawa Tengah. Pada Oktober dimulai aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap golongan priyayi yang dibenci oleh rakyat, selanjutnya terhadap kaki tangannya seperti lurah, wedana, polisi, Tionghoa, Indo Belanda, Ambon. Bupati dan Patih Pemalang dimasukkan ke dalam penjara, Bupati Tegal dipaksa melarikan diri. Seorang mantan anggota PNI dan PKI ilegal sebelum perang bernama Sardjio diangkat oleh “rakyat yang mendaulat” selaku Residen Pekalongan, menggantikan residen yang diangkat oleh Republik yaitu Mr. Besar.
Insiden Bendera
Rakyat berkerumun menyatakan amarahnya. Bung Tomo berdiri di mobil berpidato di depan massa. Akibatnya, massa menyerbu bendera Belanda itu dan diturunkan. Bagian birunya disobek, tinggal bagian merah dan putih, lalu dikibarkan kembali. Orang-orang Belanda yang berada di Gedung Palang Merah Internasional dekat Oranye Hotel bereaksi. Timbul perkelahian antara Belanda dan pemuda. Itulah yang disebut vlagincident te Surabaya.
Setelah insiden tersebut, sebagian pemuda di bawah pimpinan Sumarsono mendirikan PRI (Pemuda Republik Indonesia). Pada 23 September Bung Tomo mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Pada 24 Oktober, tentara Inggris tiba di Surabaya, dipimpin oleh Brigjen AWS Mallaby (42). Drg Moestopo mengatakan kepada Inggris agar jangan mendarat. Mallaby berbicara dengan Moestopo dan berkata tetap akan mendarat. Inggris melalui udara menyebarkan selebaran dan kepada pihak Indonesia diberikan waktu hingga 30 Oktober untuk menyerahkan senjatanya. Pada 27 Oktober lapangan terbang Morokrembangan diduduki oleh Inggris. Sepanjang malam Radio Pemberontakan menyiarkan pidato Bung Tomo yang berapi-api.
Pada 28 Oktober, pertempuran meledak. Tentara Inggris kewalahan. Presiden Soekarno diminta oleh Jenderal Christison untuk turun tangan melerai. Pada 29 Oktober, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Amir Sjarifuddin, dengan menumpang pesawat RAF tiba di Surabaya.
Pada 30 Oktober, Jenderal Hawthorn datang dari Jakarta. Perundingan diadakan. Bung Tomo hadir bersama Roeslan Abdulgani, Gubernur Jatim Soerio, Residen Surabaya Sudirman, Sungkono, Sumarsono, dan D Atmadji. Gencatan senjata tercapai. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Inggris berusaha menghentikan pertempuran. Pemuda berhasil mengalahkan dan merendahkan martabat Brigade ke-49 Inggris. Pada 30 Oktober, Brigjen Mallaby tertembak di depan Gedung Internatio. Pada 31 Oktober, Soekarno mendengar berita kematian Mallaby yang kemudian dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.
Tanggal 2-3 November, Divisi Kelima Inggris tiba di Surabaya dari Malaka. Juga tiba Jenderal Mansergh. Pada 7 November, diselenggarakan pertemuan antara Mansergh dan Gubernur Soerio. Tidak tercapai persetujuan. Mansergh memberikan ultimatum: pihak Indonesia menyerahkan senjatanya. Pemuda menolak. Pada 10 November, Inggris mengebom Surabaya. Pemuda memberikan perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Surabaya. Pemuda memberikan perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Pemberontakan mengobarkan semangat menentang tentara Inggris dan kembalinya kolonialisme Belanda. Pemuda dan pemudi memperlihatkan pengorbanan, rakyat maju tak gentar. Sekitar 6.000 orang Indonesia tewas di medan pertempuran Surabaya. Tanggal 10 November dijadikan Hari Pahlawan.
Pertempuran Kotabaru
Pada masa awal proklamasi ini situasi sangat mencekam dan ketegangan terjadi di mana-mana demikian pula di Yogyakarta. Suasana kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945 diliputi oleh nyalanya api revolusi. Teriak siap dan pekik merdeka terdengar di mana-mana. Ratusan pemuda bersenjatakan bambu runcing, tombak, pedang, keris dan sebagainya bertekad bulat akan menurunkan bendera Hinomaru di gedung¬gedung pemerintah dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih.
Pada pukul 13.00 di depan Balai Mataram berkumpul massa rakyat. Mereka beramai-ramai mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram. Setelah berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram, massa rakyat dengan gagah berani memasuki Tyookan Kantai dengan tujuan yang sama.
Sebelum penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih di Tyookan Kantai itu diadakan perundingan dengan Koochi Zimmukyoku Tyookan di Tyookan Kantai. Sebagai juru bicara rakyat adalah Jalaludin Nasution Sekretaris Promotor Pemuda Nasional (PPN). Sementara itu dua orang anggota Polisi Istimewa yaitu Sunarjo dan sarjono ikut menyaksikan perundingan antara Jalaludin Nasution dengan petinggi Jepang. Pada mulanya pihak Jepang menyetujui permintaan delegasi rakyat, yaitu penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih. Akan tetapi setelah Sang Saka Merah Putih dikibarkan, Jepang ingkar janji. Penguasa Jepang kemudian menurunkan Sang Saka Merah Putih dan mengibarkan kembali bendera Hinomaru. Hal ini membuat rakyat marah dan mereka berkumpul di depan Tyookan Kantai. Dengan semangat yang berkobar massa rakyat dengan dibantu Polisi Istimewa berusaha menerobos penjaga Jepang yang bersenjata. Tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, lima orang muda yaitu Slamet, Sultan Ilyas, sapardi, Rusli dan Siti Ngaisah berhasil menerobos penjaga Jepang dan kemudian naik di atas atap gedung Tyookan Kantai untuk menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itulah sebagai awal runtuhnya Jepang di Yogyakarta. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 gedung Tyookan Kantai berhasil direbut dan dikuasai massa rakyat. Selanjutnya gedung ini dipergunakan sebagai gedung Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta. (R. Sunardjo, 1974 : 3 – 4 lihat juga Djamal Marsudi; 1985 : 55 – 56). Gedung Tyookan Kantai ini setelah dipergunakan Komite Nasional Indonesia Daerah diberi nama Gedung Nasional Yogyakarta (Tashadi; dkk, 1985 : 49).
Dua hari kemudian yaitu pada tanggal 7 Oktober 1945 terjadi usaha pelucutan senjata Jepang di Kido Butai Kotabaru. Mula-mula usaha pelucutan dilakukan secara damai melalui perundingan, tetapi gagal. Oleh karena pelucutan senjata secara damai gagal, maka massa rakyat menyerang Kido Butai Kotabaru sehingga terjadi pertempuran yang sengit. Tentara Jepang kewalahan dan akhirnya menyerah.
Dalam pertempuran Kotabaru, pihak rakyat gugur 21 orang dan luka-luka 32 orang sedang pihak Jepang meninggal 9 orang 20 orang luka-luka. Jenazah para pahlawan tersebut sebelum dimakamkan, disemayamkan lebih dahulu di Gedung Nasional Yogyakarta. Dari 21 korban, 18 orang dimakamkan di Semaki (Taman Makam Pahlawan) sedangkan yang 3 orang dimakamkan di Karangkajen dan Kauman (Djamal Marsudi dkk, 1985 : 55 – 56 : lihat juga Suratmin, dkk, 1982 : 229).
Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta makin menjadi buruk. Pembunuhan dan penculikan oleh tentara Belanda (NICA) sering terjadi tiap hari. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priuk pada tanggal 30 Desember 1945 menambah gentingnya keadaan. Mengingat keamanan yang semakin buruk itu. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itu Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Perdana Menteri Sutan Syahrir untuk sementara tetap di Jakarta. Namun karena situasi Jakarta bertambah gawat, Perdana Menteri Sultan Syahrir menyusul ke Yogyakarta.
Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia berdasarkan pertimbangan antara lain : 1) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII bersikap tegas dalam mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia; 2) Rakyat Yogyakarta dapat menyesuaikan diri dengan cita-cita dan semangat revolusi. Presiden Sukarno setelah pindah di Yogyakarta menempati Gedung Nasional. Itulah sebabnya rakyat menamakan Gedung Nasional dengan nama gedung Kepresidenan (M. Alwi Dahlan, PHD (et.al), 1979 : 164). Sedangkan wakil Presiden Moh. Hatta menempati Gedung Asisten Residen di jalan Reksobayan 4 yang sekarang dipergunakan Makarem 072 Pamungkas Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Gedung Asisten Residen ini dipergunakan sebagai tempat tinggal Somobucho atau Kepala Urusan Umum.
Peristiwa di Kabupaten Bogor
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang datang ke Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi. Pihak intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun keselamatan mereka tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok yang mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen menyebutkan bahwa dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi RI, maka aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai tindakan kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya, dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik pria, wanita, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tinggal celana dalam dan BH. Semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor (I b i d).
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan Belanda, kadangkala juga menimpa orang-orang republikein. Tidak sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari anak buahnya bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama anak-anaknya, salah satunya masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia sempat menemui kedua wanita itu dan berjanji akan membawanya ke Bogor untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman. Namun keeskan harinya sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah kedua wanita tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang berjumlah 12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya. Seluruh harta bendanya habis dijarah (Ramadhan KH, 1988: 74).
Dari sekian banyak aksi dengan tindak kekerasan, maka aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang merupakan aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan Bogor, khususnya di tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan dari Lasykar Gulkut (Gulung Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan mencopot jabatannya. Setelah itu semua pejabat pemerintah RI yang ada di Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki Nariya kemudian mundur ke Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur setempat dilucutinya dan diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje Mamat dengan lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris mendapat pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat informasi tentang perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar Jakarta-Bogor, sehingga nyaris mengakui kepemimpinannya. Namun setelah menerima laporan dari Bogor, pimpinan di Jakarta memerintahkan agar pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera menindak tegas gerakan Ki Nariya-Tje Mamat itu (Ramadhan KH, 198: 62-63 dan lihat juga Laporan Agen Khusus tgl. 25 Maret 1946 No.KH2/29170/G, Alegemeen Secretarie, ANRI).
Setelah menerima perintah itu, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Lasykar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasil mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di Dramaga. Tje Mamat sendiri berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan gabungan, akhirnya berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar. Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari Banten, dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta (Sri Handajani Purwaningsih, 1984: 91).
Dalam suasana dalam negeri yang kacau balau seperti itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris selaku pasukan Sekutu (yang didalamnya ikut pula orang-orang NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan Jepang. Seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi antara pihak RI dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak berjalan mulus. Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau BKR/TKR melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat seperti: di Depok (Merdeka No.155, 30 Maret 1946), Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur,  (Merdeka No. 166, 12 April 1946), Cileungsi (Merdeka No.157, 2 April 1946), Leuwi Malang, Ciburial, dan Cikemasan (Merdeka No. 159, 4 April 1946). Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan Inggris-Belanda melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap ruamah-rumah penduduk (Merdeka No.155, 30 Maret 1946; No. 156, 1 April 1946 dan No. 159, 4 April 1946).
Oleh karena kurang baiknya koordinasi antara TKR dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi bentokan antara TKR melawan lasykar (Ramadhan Kh,1988: 61). Seringkali pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang merugikan reputasi RI, misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang, yang sebelumnya telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat ke wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang akan dikembalikan ke negeri asalnya (Algemeen Secretarie 1942-1950 No. 1240, ANRI).
Akhir Masa Bersiap
Jika pada awalnya pimpinan RI tidak begitu antusias untuk membentuk tentara nasional karena ‘takut’ dicap tidak beritikad baik dan fasis, namun dengan melihat kenyataan di lapangan, pendirian itu berubah. Perubahan itu antara lain terlihat dengan terbitnya maklumat tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Pada bulan Februari 1946 nama itu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dua minggu kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Waktu itu penyusunan TKR/TRI masih meniru Departemen van Oorlog KNIL di Bandung. Menurut A.H. Nasution, semula direncanakan susunan organisasi terdiri dari tiga divisi di Jawa dan satu di Sumatera. Namun kenyataannya waktu itu sudah ada selusin jenderal di Yogyakarta dengan 10 divisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatera yang mencakup sekitar 100 resimen infantri (Nasution, 1963).
Semakin terkordinasinya hubungan pemerintah, TKR dan polisi, control pemerintah atas wilayah kekuasaannya semakin baik. Kondisi itu secara perlahan-lahan mengakhiri masa tak menentu. Memang sulit untuk memastikan, kapan tepatnya Masa Bersiap itu berakhir, namun secara umum kondisi semacam itu berakhir setelah peristiwa 3 Juli 1946. Walaupun setelah itu pun masih ada benalu-benalu revolusi yang memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri.
Dari Masa Bersiap yang relatif singkat, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran atau bandingan untuk membangun masa kini. Pertama, Masa Bersiap itu terjadi karena pemerintah pusat, karena keterbatasannya tidak berani bertindak cepat dan tegas. Bahkan ada kelengkapan Negara yang harus segera dibangun justru diambangkan atau ditunda, misalnya pembentukan tentara. Padahal pada waktu itu, kedaulatan RI sedang menghadapi ancaman yang cukup serius. Kedua, Tidak ada koordinasi dan pembagian tugas yang jelas antara aparat keamanan, seperti polisi dengan BKR di bawah KNID maupun dengan badan-badan kelasykaran yang umumnya menjadi bagian dari kekuatan politik, baik kekuatan politik agama maupun sekuler. Akibatnya, setiap kekuatan merasa independent atau mempunyai hak otonomi untuk menafsirkan kemerdekaan itu, yang kemudian direfleksikan dalam bentuk aksi-aksi, di antaranya aksi-aksi kekerasan, termasuk aksi daulat. Ketiga, dari aksi-aksi itu dapat disimak bahwa pada dasarnya manusialah yang menentukan sejarah. Jika sejarah itu adalah (proses) perubahan, maka manusialah agen perubahan (agent of change).
“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku.
Ia tumbuh dari perbuatan,
dan perbuatan itu adalah usahaku.”
-Syair Rene de Clerque- dalam pledoi Hatta berjudul “Indonesie Vriij”
Referensi
  1. Masa Bersiap di Kabupaten  Bogor, Makalah Seminar Sehari tentang Kajian Lahirnya Bogor, Muhammad Iskandar, 2008.
  2. Yogyakarta dalam lintasan,www.koranplus.com,  Suhartono.
  3. Bung Tomo : Surabaya Bersiap, Suara Pembaharuan Daily, Rosihan Anwar.
  4. Bersiap dan Daulat di Bulan Desember 1945, Milist Nasional-list, Rosihan Anwar.
  5. Lambert Giebels, Wawancara Majalah Tempo 4 Juni 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar