Rabu, 11 Desember 2013

Masa bersiap


„Masa bersiap“ (Bersiap-tijd) merupakan suatu masa yang relatif pendek dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu sekitar empat bulan terhitung sejak Jepang menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu. Masa ini merupakan periode yang sangat kritis dan menentukan, yang digambarkan sebagai periode yang kacau, sarat dengan berbagai tindakan kekerasan, penjarahan, bahkan pembunuhan massal. Hal itu terjadi karena kosongnya kekuasaan (vacum of power) sehingga tidak ada yang mampu mengontrol keadaan. Pada waktu itu pemerintah lama (Jepang) telah runtuh, sementara pemerintahan baru (Republik Indonesia) masih sangat lemah.
Dr. Lambert Giebels, penulis buku “Soekarno, 1901-1950″ dalam sebuah wawancara dengan wartawan Tempo menilai bahwa revolusi Indonesia tak lepas dari berbagai anarkisme. Dr. Lambert Giebels menceritakan betapa banyak massa pemuda di saat revolusi melakukan serangkaian tindak kriminal seperti menjarah, memerkosa perempuan, serta membunuh dengan darah dingin. Misalnya peristiwa 10 November di Surabaya. Banyak perempuan Belanda, Indo, dan keturunan Cina diperkosa dan dibunuh massa. Ini agak berbeda dengan penilaian Ben Anderson yang begitu heroik dan romantik tentang revolusi pemuda Indonesia.


Seperti disampaikan oleh van Doorn: „Maar voor goed begrijp van de maatschappelijken historische betekenis van deze periode is het nuttig te beseffen dat de „bersiap“ veel meer was; een revolutionair proces, waarbij met geweld van wapenen een sociale opstand werd doorgevoerd en een collectief nationaal sentiment werd gedemonstreed, gericht tegen terugkeer van de „kolonie“ (van Doorn, 1983). Artinya, masa bersiap secara sosial-historis  ditafsirkan sebagai suatu proses perubahan yang revolusioner, di mana terjadi suatu gerakan sosial dengan kekerasan/bersenjata yang disertai sentimen nasional secara kolektif yang ditujukan terhadap penguasa kolonial yang hendak berkuasa kembali.
Kebanyakan sejarawan sependapat bahwa periode “Bersiap” itu berlangsung dari 1 September 1945 hingga 1 Januari 1946, tatkala rakyat Indonesia bangkit serentak menentang kembalinya kolonialisme Belanda. Pekik perjuangan yang terdengar masa itu adalah “Bersiap”. Pemuda beserta rakyat bersenjata bambu runcing, golok, dan sedikit senjata api menyerang pos-pos tentara NICA-Belanda.
Beberapa kasus yang terjadi sekitar bulan September 1945-Agustus 1946 di Jakarta-Tangerang (Cribb, 1991), Banten (Iskandar, 1992), „Tiga Daerah“ (Lucas, 1991), Sumatera Timur (Kahin, 1971) dan Sumatera Timur (Reid) yang disebut oleh Nasution dan Anderson (1972) sebagai „revolusi sosial“, menunjukkan bahwa penyebab terjadinya „revolusi sosial“ sangat beragam.
Peristiwa Banten
Dalam masa bersiap, setelah proklamasi kemerdekaan dan tentara Inggris mendarat di Jakarta, terjadi tindakan-tindakan kekerasan terhadap apa saja yang dianggap sebagai “kolonial”. Banten di zaman kolonial Belanda sudah dikenal sebagai tempat pemberontakan kaum komunis tahun 1926. Pertengahan Agustus 1945 meletus kekacauan di Anyer yang secara ekonomi sangat menderita akibat perang dan pendudukan Jepang. Waktu itu wedana setempat Raden Soekrawardi dibunuh.
Kekacauan itu memicu pemimpin-pemimpin Islam, golongan komunis dan gerombolan untuk mengambil alih pemerintah, menduduki posisi pangreh praja. Inilah yang dinamakan “zaman daulat”, artinya rakyat merebut kekuasaan pemerintah yang ada, lalu menjalankan sendiri kekuasaan tersebut.
Ungkapan “rakyat mendaulat” atau “bupati anu didaulat” menjadi umum dipakai. Tanggal 6 Oktober 1945 “rakyat yang mendaulat” itu mengangkat Kiai Chatib selaku Residen Banten, menggantikan pejabat yang telah diangkat oleh pemerintah RI. Regent atau Bupati Serang Raden Hilman Djajadiningrat dan beberapa menak (priayi) lain ditangkap. Bupati Lebak Raden Hardiwinangun dibunuh. Pegawai-pegawai pamong praja republik diganti oleh golongan ulama. Sebuah dewan rakyat yang revolusioner dibentuk lengkap dengan kekuatan kepolisian sendiri.
Peristiwa Tiga Daerah
Di bulan Desember 1945 terjadi pula Peristiwa Tiga Daerah yaitu timbulnya perubahan bestuur akibat rakyat mendaulat di tiga Kabupaten Brebes, Tegal, dan Pemalang di Jawa Tengah. Pada Oktober dimulai aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap golongan priyayi yang dibenci oleh rakyat, selanjutnya terhadap kaki tangannya seperti lurah, wedana, polisi, Tionghoa, Indo Belanda, Ambon. Bupati dan Patih Pemalang dimasukkan ke dalam penjara, Bupati Tegal dipaksa melarikan diri. Seorang mantan anggota PNI dan PKI ilegal sebelum perang bernama Sardjio diangkat oleh “rakyat yang mendaulat” selaku Residen Pekalongan, menggantikan residen yang diangkat oleh Republik yaitu Mr. Besar.
Insiden Bendera
Rakyat berkerumun menyatakan amarahnya. Bung Tomo berdiri di mobil berpidato di depan massa. Akibatnya, massa menyerbu bendera Belanda itu dan diturunkan. Bagian birunya disobek, tinggal bagian merah dan putih, lalu dikibarkan kembali. Orang-orang Belanda yang berada di Gedung Palang Merah Internasional dekat Oranye Hotel bereaksi. Timbul perkelahian antara Belanda dan pemuda. Itulah yang disebut vlagincident te Surabaya.
Setelah insiden tersebut, sebagian pemuda di bawah pimpinan Sumarsono mendirikan PRI (Pemuda Republik Indonesia). Pada 23 September Bung Tomo mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Pada 24 Oktober, tentara Inggris tiba di Surabaya, dipimpin oleh Brigjen AWS Mallaby (42). Drg Moestopo mengatakan kepada Inggris agar jangan mendarat. Mallaby berbicara dengan Moestopo dan berkata tetap akan mendarat. Inggris melalui udara menyebarkan selebaran dan kepada pihak Indonesia diberikan waktu hingga 30 Oktober untuk menyerahkan senjatanya. Pada 27 Oktober lapangan terbang Morokrembangan diduduki oleh Inggris. Sepanjang malam Radio Pemberontakan menyiarkan pidato Bung Tomo yang berapi-api.
Pada 28 Oktober, pertempuran meledak. Tentara Inggris kewalahan. Presiden Soekarno diminta oleh Jenderal Christison untuk turun tangan melerai. Pada 29 Oktober, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Amir Sjarifuddin, dengan menumpang pesawat RAF tiba di Surabaya.
Pada 30 Oktober, Jenderal Hawthorn datang dari Jakarta. Perundingan diadakan. Bung Tomo hadir bersama Roeslan Abdulgani, Gubernur Jatim Soerio, Residen Surabaya Sudirman, Sungkono, Sumarsono, dan D Atmadji. Gencatan senjata tercapai. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Inggris berusaha menghentikan pertempuran. Pemuda berhasil mengalahkan dan merendahkan martabat Brigade ke-49 Inggris. Pada 30 Oktober, Brigjen Mallaby tertembak di depan Gedung Internatio. Pada 31 Oktober, Soekarno mendengar berita kematian Mallaby yang kemudian dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.
Tanggal 2-3 November, Divisi Kelima Inggris tiba di Surabaya dari Malaka. Juga tiba Jenderal Mansergh. Pada 7 November, diselenggarakan pertemuan antara Mansergh dan Gubernur Soerio. Tidak tercapai persetujuan. Mansergh memberikan ultimatum: pihak Indonesia menyerahkan senjatanya. Pemuda menolak. Pada 10 November, Inggris mengebom Surabaya. Pemuda memberikan perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Surabaya. Pemuda memberikan perlawanan. Bung Tomo berpidato di Radio Pemberontakan mengobarkan semangat menentang tentara Inggris dan kembalinya kolonialisme Belanda. Pemuda dan pemudi memperlihatkan pengorbanan, rakyat maju tak gentar. Sekitar 6.000 orang Indonesia tewas di medan pertempuran Surabaya. Tanggal 10 November dijadikan Hari Pahlawan.
Pertempuran Kotabaru
Pada masa awal proklamasi ini situasi sangat mencekam dan ketegangan terjadi di mana-mana demikian pula di Yogyakarta. Suasana kota Yogyakarta pada tanggal 21 September 1945 diliputi oleh nyalanya api revolusi. Teriak siap dan pekik merdeka terdengar di mana-mana. Ratusan pemuda bersenjatakan bambu runcing, tombak, pedang, keris dan sebagainya bertekad bulat akan menurunkan bendera Hinomaru di gedung¬gedung pemerintah dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih.
Pada pukul 13.00 di depan Balai Mataram berkumpul massa rakyat. Mereka beramai-ramai mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram. Setelah berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Mataram, massa rakyat dengan gagah berani memasuki Tyookan Kantai dengan tujuan yang sama.
Sebelum penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih di Tyookan Kantai itu diadakan perundingan dengan Koochi Zimmukyoku Tyookan di Tyookan Kantai. Sebagai juru bicara rakyat adalah Jalaludin Nasution Sekretaris Promotor Pemuda Nasional (PPN). Sementara itu dua orang anggota Polisi Istimewa yaitu Sunarjo dan sarjono ikut menyaksikan perundingan antara Jalaludin Nasution dengan petinggi Jepang. Pada mulanya pihak Jepang menyetujui permintaan delegasi rakyat, yaitu penurunan bendera Hinomaru dan pengibaran Sang Saka Merah Putih. Akan tetapi setelah Sang Saka Merah Putih dikibarkan, Jepang ingkar janji. Penguasa Jepang kemudian menurunkan Sang Saka Merah Putih dan mengibarkan kembali bendera Hinomaru. Hal ini membuat rakyat marah dan mereka berkumpul di depan Tyookan Kantai. Dengan semangat yang berkobar massa rakyat dengan dibantu Polisi Istimewa berusaha menerobos penjaga Jepang yang bersenjata. Tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam, lima orang muda yaitu Slamet, Sultan Ilyas, sapardi, Rusli dan Siti Ngaisah berhasil menerobos penjaga Jepang dan kemudian naik di atas atap gedung Tyookan Kantai untuk menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Sang Saka Merah Putih. Peristiwa itulah sebagai awal runtuhnya Jepang di Yogyakarta. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 gedung Tyookan Kantai berhasil direbut dan dikuasai massa rakyat. Selanjutnya gedung ini dipergunakan sebagai gedung Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta. (R. Sunardjo, 1974 : 3 – 4 lihat juga Djamal Marsudi; 1985 : 55 – 56). Gedung Tyookan Kantai ini setelah dipergunakan Komite Nasional Indonesia Daerah diberi nama Gedung Nasional Yogyakarta (Tashadi; dkk, 1985 : 49).
Dua hari kemudian yaitu pada tanggal 7 Oktober 1945 terjadi usaha pelucutan senjata Jepang di Kido Butai Kotabaru. Mula-mula usaha pelucutan dilakukan secara damai melalui perundingan, tetapi gagal. Oleh karena pelucutan senjata secara damai gagal, maka massa rakyat menyerang Kido Butai Kotabaru sehingga terjadi pertempuran yang sengit. Tentara Jepang kewalahan dan akhirnya menyerah.
Dalam pertempuran Kotabaru, pihak rakyat gugur 21 orang dan luka-luka 32 orang sedang pihak Jepang meninggal 9 orang 20 orang luka-luka. Jenazah para pahlawan tersebut sebelum dimakamkan, disemayamkan lebih dahulu di Gedung Nasional Yogyakarta. Dari 21 korban, 18 orang dimakamkan di Semaki (Taman Makam Pahlawan) sedangkan yang 3 orang dimakamkan di Karangkajen dan Kauman (Djamal Marsudi dkk, 1985 : 55 – 56 : lihat juga Suratmin, dkk, 1982 : 229).
Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta makin menjadi buruk. Pembunuhan dan penculikan oleh tentara Belanda (NICA) sering terjadi tiap hari. Pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priuk pada tanggal 30 Desember 1945 menambah gentingnya keadaan. Mengingat keamanan yang semakin buruk itu. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itu Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Perdana Menteri Sutan Syahrir untuk sementara tetap di Jakarta. Namun karena situasi Jakarta bertambah gawat, Perdana Menteri Sultan Syahrir menyusul ke Yogyakarta.
Pemilihan Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia berdasarkan pertimbangan antara lain : 1) Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII bersikap tegas dalam mendukung berdirinya Negara Republik Indonesia; 2) Rakyat Yogyakarta dapat menyesuaikan diri dengan cita-cita dan semangat revolusi. Presiden Sukarno setelah pindah di Yogyakarta menempati Gedung Nasional. Itulah sebabnya rakyat menamakan Gedung Nasional dengan nama gedung Kepresidenan (M. Alwi Dahlan, PHD (et.al), 1979 : 164). Sedangkan wakil Presiden Moh. Hatta menempati Gedung Asisten Residen di jalan Reksobayan 4 yang sekarang dipergunakan Makarem 072 Pamungkas Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Gedung Asisten Residen ini dipergunakan sebagai tempat tinggal Somobucho atau Kepala Urusan Umum.
Peristiwa di Kabupaten Bogor
Pada 11 Oktober 1945, sekitar 4000 orang datang ke Depok, ada yang menumpak kereta api, truk bahkan gerobak sapi. Pihak intelejen Belanda melaporkan kedatangan orang-orang itu dengan sepengetahuan aparatur pemerintah dan kepolisian RI. Gerombolan tersebut dengan bebas merampok dan mengobrak-abrik rumah-rumah dan mengusir penghuninya, terutama penduduk Kristen Eropa. Para korban itu sulit mencari perlindungan karena lari ke hutan-hutanpun keselamatan mereka tidak terjamin. Sebab di sekitar hutan juga banyak perampok yang mengambil harta bendanya seperti pakaian, makanan, uang kertas Jepang dan Belanda, permata dan uang perak Belanda. Laporan intelejen menyebutkan bahwa dengan melihat ciri-cirinya, cukup jelas bahwa aksi-aksi itu merupakan aksi kolektif yang terorganisir secara baik. Artinya ada orang atau kelompok tertentu yang mengorganisir aksi-aksi tersebut.
Dengan sikap pasif aparatur dan polisi RI, maka aksi-aksi perorangan, terutama aksi-aksi kolektif yang disertai tindakan kekerasan semakin meningkat. Pada 13 Oktober misalnya, dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Selain itu semua penduduk Eropa diburu oleh BKR dan Pelopor (yang dikenal dari pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang statsiun kereta Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik pria, wanita, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tinggal celana dalam dan BH. Semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu dengan pengawasan Barisan Pelopor (I b i d).
Aksi kekerasan itu tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang dituduh atau dicurigai sebagai kaki tangan Belanda, kadangkala juga menimpa orang-orang republikein. Tidak sedikit penjahat atau perampok yang memanfaatkan kekacauan itu untuk kepentingan sendiri. Mayor A.E. Kawilarang yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Bogor/Divisi II TKR, mendengar laporan dari anak buahnya bahwa di Cisarua ada dua orang Menado bersama-sama anak-anaknya, salah satunya masih bayi, mengungsi di tempat itu. Ia sempat menemui kedua wanita itu dan berjanji akan membawanya ke Bogor untuk selanjutnya dikirimkan ke daerah aman. Namun keeskan harinya sewaktu akan mengangkut orang-orang itu, ternyata rumah kedua wanita tersebut telah dirampok. Kedua wanita dengan anak-anaknya yang berjumlah 12 orang telah mati dengan luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya. Seluruh harta bendanya habis dijarah (Ramadhan KH, 1988: 74).
Dari sekian banyak aksi dengan tindak kekerasan, maka aksi kolektif pimpinan Ki Nariya dari Leuwiliang merupakan aksi yang cukup membahayakan pemerintahan RI di Keresidenan Bogor, khususnya di tingkat kabupaten. Ki Nariya yang mendapat dukungan dari Lasykar Gulkut (Gulung Bukut) pimpinan Tje Mamat menagkap Residen Bogor R. Barnas Tanuningrat dan Kepala Polisi R. Enoh Danubrata dan mencopot jabatannya. Setelah itu semua pejabat pemerintah RI yang ada di Bogor diganti oleh Ki Nariya-Tje Mamat. Ki Nariya kemudian mundur ke Dramaga, setelah kesatuan polisi dan aparatur setempat dilucutinya dan diganti oleh orang-orangnya. Sebagai catatan, Tje Mamat dengan lasykarnya itu sampai ke daerah Bogor, tepatnya Leuwiliang, karena melarikan diri setelah aksi daulatnya di Banten mengalami kekalahan.
Aksi Ki Nariya dan kawan-kawannya nyaris mendapat pengakuan dari pemerintah RI di Jakarta yang kurang mendapat informasi tentang perkebangan sosial-politik di wilayah sekitar Jakarta-Bogor, sehingga nyaris mengakui kepemimpinannya. Namun setelah menerima laporan dari Bogor, pimpinan di Jakarta memerintahkan agar pimpinan TKR di wilayah Bogor untuk segera menindak tegas gerakan Ki Nariya-Tje Mamat itu (Ramadhan KH, 198: 62-63 dan lihat juga Laporan Agen Khusus tgl. 25 Maret 1946 No.KH2/29170/G, Alegemeen Secretarie, ANRI).
Setelah menerima perintah itu, pasukan gabungan dari Resimen Bogor yang terdiri dari Batalyon II pimpinan Mayor Toha, Batalyon III pimpinan Kapten Haji Dasuki Bakri, Polisi Istimewa pimpinan Muharam Wiranata Kusuma, Lasykar Hizbullah pimpinan E. Affandi, Lasykar Bogor pimpinan Dadang Sapri, Pasukan Jabang Tutuka pimpinan R.E. Abdullah, dan Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar berhasil mengepung dan menyergap Ki Nariya dkk di Dramaga. Tje Mamat sendiri berhasil meloloskan diri dari sergapan pasukan gabungan, akhirnya berhasil disergap oleh Lasykar Leuwiliang pimpinan Sholeh Iskandar. Selanjutnya Tje Mamat dengan lasykarnya yang merupakan buronan dari Banten, dikirimkan ke Komandemen I Jawa Barat yang berkedudukan di Purwakarta (Sri Handajani Purwaningsih, 1984: 91).
Dalam suasana dalam negeri yang kacau balau seperti itu, pihak RI juga harus berhadapan dengan pihak Inggris selaku pasukan Sekutu (yang didalamnya ikut pula orang-orang NICA-Belanda) yang datang untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan Jepang. Seperti telah banyak diungkapkan oleh banyak peneliti sejarah, kesalahan pandangan dan presepsi antara pihak RI dengan Inggris, membuat proses rekapitulasi Jepang tidak berjalan mulus. Bentrokan-bentrokan, sampai pertempuran antara lasykar atau BKR/TKR melawan pasukan Inggris-Belanda kerap terjadi di berbagai tempat seperti: di Depok (Merdeka No.155, 30 Maret 1946), Cibinong, Cikeas, Bojong Kulur,  (Merdeka No. 166, 12 April 1946), Cileungsi (Merdeka No.157, 2 April 1946), Leuwi Malang, Ciburial, dan Cikemasan (Merdeka No. 159, 4 April 1946). Oleh karena seringkali lasykar atau TKR melakukan sergapan-sergapan atas konvoi mereka, maka tidak jarang pasukan Inggris-Belanda melakukan tindakan balasan dan penggeladahan terhadap ruamah-rumah penduduk (Merdeka No.155, 30 Maret 1946; No. 156, 1 April 1946 dan No. 159, 4 April 1946).
Oleh karena kurang baiknya koordinasi antara TKR dengan badan-badan kelasykaran, maka tidak jarang terjadi bentokan antara TKR melawan lasykar (Ramadhan Kh,1988: 61). Seringkali pula lasykar-lasykar melakukan serangan yang merugikan reputasi RI, misalnya menyerang konvoi pengangkut pasukan Jepang, yang sebelumnya telah disepekati oleh pihak RI dengan pihak Sekutu untuk lewat ke wilayah Bogor. Oleh karena itu pimpinan TKR di Keresidenan Bogor memperingatkan agar konvoi 11 truk yang akan melewati Cimande menuju Jakarta tidak diganggu, karena isinya adalah para serdadu Jepang yang akan dikembalikan ke negeri asalnya (Algemeen Secretarie 1942-1950 No. 1240, ANRI).
Akhir Masa Bersiap
Jika pada awalnya pimpinan RI tidak begitu antusias untuk membentuk tentara nasional karena ‘takut’ dicap tidak beritikad baik dan fasis, namun dengan melihat kenyataan di lapangan, pendirian itu berubah. Perubahan itu antara lain terlihat dengan terbitnya maklumat tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Pada bulan Februari 1946 nama itu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dua minggu kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Waktu itu penyusunan TKR/TRI masih meniru Departemen van Oorlog KNIL di Bandung. Menurut A.H. Nasution, semula direncanakan susunan organisasi terdiri dari tiga divisi di Jawa dan satu di Sumatera. Namun kenyataannya waktu itu sudah ada selusin jenderal di Yogyakarta dengan 10 divisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatera yang mencakup sekitar 100 resimen infantri (Nasution, 1963).
Semakin terkordinasinya hubungan pemerintah, TKR dan polisi, control pemerintah atas wilayah kekuasaannya semakin baik. Kondisi itu secara perlahan-lahan mengakhiri masa tak menentu. Memang sulit untuk memastikan, kapan tepatnya Masa Bersiap itu berakhir, namun secara umum kondisi semacam itu berakhir setelah peristiwa 3 Juli 1946. Walaupun setelah itu pun masih ada benalu-benalu revolusi yang memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri.
Dari Masa Bersiap yang relatif singkat, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran atau bandingan untuk membangun masa kini. Pertama, Masa Bersiap itu terjadi karena pemerintah pusat, karena keterbatasannya tidak berani bertindak cepat dan tegas. Bahkan ada kelengkapan Negara yang harus segera dibangun justru diambangkan atau ditunda, misalnya pembentukan tentara. Padahal pada waktu itu, kedaulatan RI sedang menghadapi ancaman yang cukup serius. Kedua, Tidak ada koordinasi dan pembagian tugas yang jelas antara aparat keamanan, seperti polisi dengan BKR di bawah KNID maupun dengan badan-badan kelasykaran yang umumnya menjadi bagian dari kekuatan politik, baik kekuatan politik agama maupun sekuler. Akibatnya, setiap kekuatan merasa independent atau mempunyai hak otonomi untuk menafsirkan kemerdekaan itu, yang kemudian direfleksikan dalam bentuk aksi-aksi, di antaranya aksi-aksi kekerasan, termasuk aksi daulat. Ketiga, dari aksi-aksi itu dapat disimak bahwa pada dasarnya manusialah yang menentukan sejarah. Jika sejarah itu adalah (proses) perubahan, maka manusialah agen perubahan (agent of change).
“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku.
Ia tumbuh dari perbuatan,
dan perbuatan itu adalah usahaku.”
-Syair Rene de Clerque- dalam pledoi Hatta berjudul “Indonesie Vriij”
Referensi
  1. Masa Bersiap di Kabupaten  Bogor, Makalah Seminar Sehari tentang Kajian Lahirnya Bogor, Muhammad Iskandar, 2008.
  2. Yogyakarta dalam lintasan,www.koranplus.com,  Suhartono.
  3. Bung Tomo : Surabaya Bersiap, Suara Pembaharuan Daily, Rosihan Anwar.
  4. Bersiap dan Daulat di Bulan Desember 1945, Milist Nasional-list, Rosihan Anwar.
  5. Lambert Giebels, Wawancara Majalah Tempo 4 Juni 2001.

PERTEMPURAN KOTABARU

...Kedatangan Inggris ke Surabaya 25 Oktober 1945 ternyata ditunggangi kepentingan Tentara Belanda yang masih ingin menguasai Indonesia. Arek-arek Suroboyo yang mengetahui hal itu kemudian marah dan mengadakan serangan besar-besaran pada tanggal 10 November 1945 pagi hari ...
Kini, pertempuran di Surabaya itu selalu dikenang setiap tahun sebagai Hari Pahlawan. Dalam kurun waktu yang hampir sama dengan peristiwa tersebut, di seluruh wilayah Indonesia juga terjadi perjuangan melawan penjajah, termasuk di kota Yogyakarta.
Namun berbeda dengan Surabaya, pertempuran sengit di Yogyakarta bertujuan melawan pemerintahan pendudukan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan "Pertempuran Kotabaru" yang berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1945.
Perlawanan di Kotabaru, salah satu kawasan pusat pemerintahan Jepang, terjadi karena pengaruh penjajah tersebut di Yogyakarta masih sangat kuat meskipun Indonesia sudah merdeka. Para petingi Jepang masih berada di Yogyakarta dan kegiatan pertahanan di markas Tentara Inti Jepang (Kidobutai) masih berjalan. Markas yang di dalamnya terdapat gudang senjata itu terletak di sebelah timur Stadion Kridosono, yang kini digunakan sebagai Asrama Komando Resort Militer (Korem) 072 Pamungkas.
Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai markas Jepang.
Pertama, para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan dengan Jepang. Kedua, melucuti senjata Jepang dengan cara damai, atau yang ketiga, menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal.
Untuk penyerbuan, mereka berbagi tugas, mulai dari rencana penyerbuan, pengadaan persenjataan, persiapan pemuda yang akan melakukan serangan, hingga pimpinan penyerbuan dipegang masing-masing oleh satu orang. Setelah rencana dimatangkan, para pemuda segera menjalankan tugasnya hari itu juga. Sambungan kawat telepon rumah para pembesar dan markas Jepang diputus.
Untuk mencegah bantuan kepada Jepang yang datang dari luar, perjalanan Kereta Api diawasi dan bila perlu dihentikan di perbatasan kota. Aliran listrik ke daerah Kotabaru pun dipadamkan.
Rencana penyerbuan Kotabaru ternyata terdengar hingga ke luar kota Yogyakarta. Pemuda-pemuda dari Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, segera berangkat ke kota menggunakan Kereta Api untuk bergabung. Selain itu, tidak sedikit pemuda dari Desa Sidokarto dan Godean di Kabupaten Sleman ikut mengepung markas Jepang di Kotabaru.
Keesokan harinya, 6 Oktober 1945, dimulailah perundingan dengan Jepang. Perundingan yang dimulai sore hari itu ternyata menemui jalan buntu. Dentuman granat kemudian terdengar pada pukul 20.00 WIB, memberi tanda bahwa perundingan akhirnya gagal.
Pukul 04.00 WIB keesokan harinya, 7 Oktober 1945, terdengar lagi dentuman granat, menandakan aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan. Para pemuda segera menyerbu markas itu dan dimulailah pertempuran di Kotabaru

Mengungkap Tragedi Pembantaian Penduduk Sipil di kampung Tulung oleh Pasukan Kido Butai Jepang


A. Berita Proklamasi Kemerdekaan Sampai di Kota Magelang

Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pimpinan Sekutu Amerika Serikat menunjuk Inggris untuk melucuti senjata dan mengembalikan tentara Jepang ke Negara asalnya. Namun kedatangan pasukan Inggris ke Indonesian terlambat, sehingga dimanfaatkan oleh para pemuda dipergunakan sebaik-baiknya untuk memproklamirkan kemerdekaan tepat pada tanggal 17 Agustus 1945 (Sumarmo, 1991: 85).
Di Magelang berita kemerdekaan ini belum terdengar. Keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945, R.P Soeroso langsung berangkat ke Jakarta untuk memastikan berita kemerdekaan itu.
Bupati Kabupaten Magelang, R.A.A. Sosrodiprodjo sebagai Kentyo baru mengetahuinya setelah pada tanggal 21 Agustus 1945 Syutyokan (Residen Kedu) R.P. Soeroso tiba di Magelang dari Jakarta. Tepatnya tanggal 3 September 1945 pukul 21. 00 WIB, rakyat Magelang telah berkumpul untuk mendengar secara resmi pengumuman telah diproklamirkannya Indonesia merdeka dan menyatakan karesidenan Kedu menjadi bagian dari negara Indonesia (Pemda Kab.Magelang, 1974: 62).
R.P. Soeroso diangkat menjadi Gubernur Jawa Tengah. Beliau sebelum meninggalkan Kota Magelang, terlebih dahulu mengadakan konsulidasi untuk merencanakan pengambilan alih kekuasaan sipil dari tangan Jepang. Berkat usulan para tokoh Barisan Pelopor, maka pada tanggal 10 September 1945 dilaksanakan petemuan di rumah Dr. Mardjaban di jalan Sultan Agung No. 09 (Adiwiratmoko, 1998: 6). Dalam Petemuan dihadiri oleh kepala kantor dan Jawatan pemerintah bangsa Indonesia, unsur KNI dan beberapa tokoh pemuda. Keputusan yangdiambil antara lain:
1. Semua pegawai pemerintah menyatakan setia kepada Pemerintah Republik Indonesia, dan tidak akan tunduk atas perintah para pembesar Jawatan yang terdiri dari orang-orang Jepang.
2. Membentuk beberapa sayap pemuda untuk dapat diajak bersama-sama mengatasi segala persoalan.
3. Para pemuda dalam waktu singkat telah berhasil mengambil kekuasaan kantor-kantor pemerintah kota Magelang sehingga jangan sampai jatuh ke tangan pasukan Inggris.
Magelang sebagai markas tentara Jepang tidak lepas dari aksi pengambilalihan kekuasaan. Masyarakat Magelang melakukan aksi-aksi itu secara paksa. Markas tentara yang berada di jalan Kartini dan markas polisi militer Jepang berada di jalan Tidar masih lengkap persenjataannya. Para pemuda yang menjadi anggota badan-badan perjuangan merencanakan untuk merebut senjata dari tangan Jepang . Mula-mula pelucutan senjata balatentara Jepang dan polisi bentukannya dilakukan tanpa koordinasi dan secara perseorangan (Dinas Sejarah Militer Kodam VIII/ Diponegoro, 1977: 213).
Pada tanggal 23 September 1945 para pemuda dengan dipimpin oleh tokoh-tokoh Barisan Pelopor mengadakan aksi pengambilalihan kekuasaan pemerintah sipil dengan menduduki kantor-kantor dan jawatan-jawatan pemerintah. Kemudian para wakil-wakil kepala kantor dan jawatan yang dijabat oleh orang Indonesia menduduki jabatan kepala yang pada watu itu masih diduduki oleh orang-orang Jepang, aksi berikutnya pada dinding gedung kantor dan perusahaan-perusahaan diberi tulisan “MILIK RI” (Wawancara dengan Suhendro pada tanggal 12 Agustus 2010)
Pada malam harinya kelompok pemuda mengadakan rapat di markas Pemuda Indonesia Maluku (PIM) di jalan Poncol (sekarang jalan A.Yani, di depan gedung Guesthous Zipur). Salah satu keputusan yang dambil ialah bahwa pada malam hari itu juga para pemuda akan mengadakan penempelan Plakat Bendera Merah Putih di seluruh kota. Maka pada pagi harinya seluruh kota dimulai dari Kelurahan Kramat yang paling utara hingga Kelurahan Tidar yang paling selatan telah tertempel plakat Bendera Merah Putih (Adiwiratmoko, 1998: 7-9).
B. Upaya-Upaya Melucuti Persenjataan Tentara Jepang
Situasi dan kondisi daerah Magelang makin gawat dengan terjadinya insiden-insiden antara rakyat Magelang dan bala tentara Jepang. Proses peralihan kekuasaan dari pemerintah pendudukan Jepang ke pemerintah RI diiringi berbagai konflik dari sisa-sisa tentaranya yang masih berkeliaran di Magelang. Hal ini disebabkan pasukan Jepang berubah fungsi sebagai alat Sekutu yang berkewajiban menjaga satus quo menjelang pendaratan tentara Inggris di Indonesia.
Pada tanggal 12 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pemimpin pemerintah, pihak militer, pihak badan-badan perjuanagn di rumah R.P. Soeroso (Residen Kedu merangkap Gubernur JawaTengah). Rapat dihadiri para pejuang bangsa ini menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Pihak Jepang harus menyerahkan senjata pada pihak RI dengan sukarela maupun kekerasan.
2. Perlu dibentuk delegasi di pihak Indonesia untuk berunding dengan Mayor Jenderal Nakamura (Adiwiratmoko, 1998: 24).
Masyarakat Magelang melucuti senjata secara damai, dimulai pada tanggal 13 Oktober 1945, mereka mengirim delegasi perundingan ke Markas Nakamura Butai di jalan Kartini. Delegasi ini terdiri dari 3 orang wakil rakyat yaitu Mayor Maryadi selaku kepala staf Residen BKR, IP I Legowo selaku pejabat kepolisian kota Magelang dan Tartib Prawiradihardjo selaku anggota KNI. Mereka berunding dengan Mayor Jenderal Nakamura guna mencari penyelesaian masalah pemerintah militer Jepang yaitu dengan penyerahan senjata kepada bangsa Indonesia.
Sementara di luar gendung pasukan rakyat yang terdiri dari BKR, Polisi, dan berbagai laskar perjuangan telah mengepung markas. Perundingan ternyata tidak mencapai kesepakatan, akhirnya tanggal 14 Oktober 1945 serangan dimulai. Penyerangan pertama ditujukan pada penjagaan tentara Jepang di Homma Butai yang bermarkas di Kaderschool. Hasil pelucutan persenjataan milik tentara Jepang mencapai 500 pucuk senjata. Kedua menangkap Jenderal Nakamura dan tentara Jepang, selanjutnya mereka diangkut ke Purworejo, Kebumen dan Gombong untuk diserahkan kepada RAPWI (Recovery Allied Prisoners and War Internees) (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 1998: 61).
C. Fitnah NICA
Pada tanggal 24 September 1945, Sembilan tentara Inggris mendarat di Lapangan Tidar setelah diterjunkan dari pesawat terbang. Pendaratan mereka menjadi perhatian penduduk Magelang, karena sejak pendudukan Jepang di Magelang belum pernah ada penerjunan langsung dari pesawat. Akhirnya penduduk sekitar Lereng Tidar itu mendekat untuk melihat secara langsung siapa kesembilan penerjun payung itu. Ternyata kesembilan penerjun payung itu adalah Tentara Inggris yang berasal dari kesatuan Recovery Allied Prisoners and War Internees (RAPWI). Hal itu bisa diketahui dari pakaian seragam yang dipakai kesembilan orang itu. Pada lengan kiri terdapat simbul palang merah dan peralatan-peralatan militer dan medis medis (Wawancara dengan Soehendro pada tanggal 12 Agustus 2010)
Untunglah ada pimpinan polisi Ip.I.Legowo yang cepat mengatasi situasi. Penduduk Magelang berusaha untuk mendekat akhirnya dapat ditahan dan diberi pengertian supaya tidak melakukan tindakan perlawanan. Beliau menjelaskan bahwa kesembilan orang itu bukanlah orang NICA, melainkan tentara Inggris yang akan bertugas melucuti senjata dan mengembalikan Tentara Jepang ke negara asalnya (Soehendro, 2008: 4). Untuk sementara waktu Kesembilan Tentara Inggris itu menginap di Hotel Nitaka Magelang dengan penjagaan Tentara Jepang yang kuat.
Bersamaan itu, sekelompok pemuda mengadakan aksi penempelan plakat merah putih dan corat-coret di tembok-tembok jalan utama di seluruh Kota Magelang. Tujuan aksi tersebut adalah sebagai bentuk kebulatan tekat pemuda Magelang untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 24 September 1945, salah satu plakat merah putih yang tertempel di dinding Hotel Nitaka disobek oleh Tentara Jepang. Kebetulan ada sekelompok pemuda melihat penyobekan itu sehingga menimbulkan emosi, maka terjadilah saling mencaci maki yang berakhir dengan salah seorang pemuda tertembak (Drs.Soekimin Adiwiratmoko, 55). Akhirnya Jenderal Nakamura berjanji akan menyelesaikan kejadian di Hotel Nitaka itu melalui pengadilan militer di Markas Kenpeitei di Jalan Tidar Kota Magelang.
Pada tanggal 26 Oktober 1945, Tentara Inggris datang di Magelang dari Semarang. Kendaraan militer seperti tank, pankser, truk, dan jeep memadati jalan di sepanjang Jalan Utama di Kota Magelang. Tentara Inggris itu di bawah pimpinan Letnan Kolonel HG.Edward. Namun yang menarik justru Tentara Inggris kebanyakan orang Gurkha (India Sikh). Mereka membangun markas di Jalan Menowo, Gedung Susteran, dan Sociatet. Di setiap markas tentara Inggris dikibarkan Bendera Inggris, yang justru menimbulkan gesekan-gesekan dengan para pemuda Magelang. Tuntutan para pemuda sederhana, supaya bendera Inggris diturunkan dan digantikan dengan bendera merah putih.
Sementara itu, orang-orang Belanda yang sering disebut NICA secara diam-diam mulai beraksi di Kota Magelang. Adapun aksinya adalah mengeluarkan para interniran yang dipenjarakan di Markas Keipentei, mengibarkan Bendera Belanda, dan melakukan aksi-aksi memancing kemarahan pemuda Magelang. Berbeda dengan Tentara Inggris yang disibukan dengan pelucutan senjata dan pengembalian Tentara Jepang, sehingga aksi orang-orang NICA itu tidak bisa dipantau.
Melihat situasi semakin tidak terkendali, pihak NICA mencoba mempengaruhi Tentara Inggris untuk mendatangkan Tentara Jepang dari Semarang. NICA berdalih bahwa Tentara Jepang masih bertugas menjaga keamanan Indonesia, sebelum diserahkan kepada negara pemenang perang. Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 1945 salah seorang komandan NICA mengirim kabar kepada komandan Tentara Kidobutai di Semarang. Isi kabar itu ternyata fitnah, bahwa banyak Tentara Jepang yang tidak bersenjata dipenggal kepalanya oleh penduduk Magelang, dan Jenderal Nakamura dianiya hingga tewas.
Tindakan Nica itu sama saja memanfaatkan emosi Tentara Jepang, yang masih frustasi akibat kalah perang melawan Tentara Sekutu. Praktis komandan Tentara Kido butai (Pasukan Gerak Cepat Jepang) akan membalas tindakan penduduk Magelang. Tidak ada upaya melakukan penyelidikan dahulu mengenai peristiwa sebenarnya. Pada hal kejadian yang sebenarnya adalah bahwa di Kota Magelang sedang terjadi upaya-upaya pelucutan senjata di gudang-gudang senjata milik Tentara Jepang, sedang Jenderal Nakamura justru diselamatkan oleh para pemuda Magelang eks Heiho dan Peta. Sebelum dibawa ke Semarang, Jenderal Nakamura dibawa ke Gombong oleh komandan Heiho Magelang (Wawancara dengan Soehendro pada tanggal 15 Agustus 2010)
D. Terjadinya Pembantaian di Kampung Tulung
Pada tanggal 28 Oktober 1945, tentara bantuan Jepang dari Semarang sebanyak 7 truk menurunkan personelnya di pertigaan jalan Payaman pada jam 08.00 WIB. Tentara Kido Butai dibagi menjadi 2 kelompok untuk menyerang Kota Magelang. Kelompok pertama dari pertigaan Payaman terus bergerak ke Selatan. Kelompok kedua menuju kearah barat sampai di mata air Kalibening, kemudian ke selatan melalui menelusuri Sungai Bening menuju Kampung Tulung.
Dalam perjalanan Tentara Kido Butai dari kelompok pertama melewati payaman, Kedungsari, Taman Bada’an, Kampung Dukuh, dan sampai di sebelah timur Kampung Tulung. Kelompok kedua Tentara Kido Butai yang mengambil arah selatan, mereka berjalan menuju arah kecamatan Windusari yang kemudian berhenti pada mata air Kali Bening. Selanjutnya menyusuri sungai Bening hingga sampai sebelah timur Kampung Tulung.
Sebagian Tentara Kido Butai memotong jalan yang kemudian menyelinap melalui Pemakaman Nglarangan dan terus melewati sawah-sawah yang terletak sebelah barat makam menuju selatan selanjutnya masuk melalui utara Kampung Tulung. Dengan demikian dapat dapat disimpulkan, bahwa taktik Jepang untuk melumpuhkan Tentara Keamanan Rakyat di Kampung Tulung dengan mengepung segala arah jalan keluar dari kampung tersebut sehingga penduduk tidak dapat meloloskan diri dari kepungan Tentara Kido Butai.
Tentara Kido Butai melakukan perjalanan menuju Kampung Tulung, menembaki setiap orang yang berada dihadapannya, tidak ada belas kasihan sehingga baik laki-laki, perempuan, dan anak kecil pun menjadi korban kekejaman. Demikian pula ketika melalui Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO) Guverment sekarang SMP Negeri 1 Magelang, Tentara Kido Butai juga menambak para pelajar yang sedang mengikuti kegiatan Belajar mengajar sehingga menyebabkan terbunuhnya Soemiatdjo, Soesilo, dan Soediro. Untuk mengenang gugurnya ketiga pelajar ini didirikanlah Monumen Rantai Kencana yang berada di lingkungan SMP Negeri 1 Magelang.
Sesampainya di Kampung Tulung, Tentara Kido Butai yang mengambil arah barat atau selatan langsung dengan kejam membantai penduduk Kampung Tulung tersebut. Dalam waktu sangat singkat Tentara Kido Butai telah sampai di belakang Kelurahan, dan oleh para pemuda yang berada di Kelurahan mengira bahwa itu adalah kawan sendiri yang berasal dari Tentara Keamana Rakyat (BKR). Para Pemuda sibuk menyiapkan makan siang bagi para pejuang, karena di Kelurahan itu adalah penyelenggara Dapur Umum.
Kedatangan mendadak Tentara Kido Butai menyerang para pemuda yang tidak bersenjata untuk melawan. Akibatnya, penduduk Kampung Tulung yang berada di sekitar dan dalam Kantor Kelurahan dibantai dengan kejam. Jumlah penduduk Kampung Tulung tewas yang berhasil teridentifikasi berjumlah 42 orang, pemuda 42 orang, 16 pejuang, dan 26 anggota TKR berasal dari Kelurahan Magelang (Berdasarkan wawancara dengan Soehendro pada tanggal 20 Agustus 2010)
Adapun Daftar Penduduk Tulung dan Dukuh Kelurahan Magelang sebagaimana tercantum dibawah ini :
NO
NAMA
ASAL
TEMPAT GUGUR
KETERANGAN
1
SOPAWIRO PEMUDA
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
2
R.E. DOERAJAT
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
3
LUSI
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
4
MUHAMAD
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
5
ATMOROTO
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
6
KROMO PAWIRO
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
7
IMAM SAMSURI
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
8
SYAFI’I
KAMPUNG TULUNG
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
9
AMAT DASIMAN
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
10
KARTO LICHIN
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
11
SUMARDJO
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
12
SETO
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
13
ALABIN
KAMPUNG DUKUH
BADA’AN
PEMUDA PEJUANG
14
KARTO PAWIRO
KAMPUNG DUKUH
BADA’AN
PEMUDA PEJUANG
15
RUSMIN
KAMPUNG DUKUH
KAMPUNG TULUNG
PEMUDA PEJUANG
16
NY.AMAT
KAMPUNG DUKUH
BADA’AN
PEMUDA PEJUANG
17
26 ANGGOTA BKR GUGUR DI KAMPUNG TULUNG KELURAHAN MAGELANG
(Dikutip dari: Soeratmin,dkk. Peristiwa Sejarah Perjuangan Mempertahankan Dan Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesia yang Terjadi di Kampung Tulung Kelurahan Magelang Pada Akhir Oktober Tahun 1945, Magelang: Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Magelang)
E. Hikmah Tragedi Pembantaian Penduduk di Kampung Tulung
Setiap peristiwa sejarah di mana saja, pasti memiliki hikmah yang positif dari setiap perjuangan yang telah direalisasikan. Meskipun perjuangan antara cita-cita dan harapan kadang-kadang berbeda, tetapi kisahnya dapat menjadi pelajaran yang berharga. Manusa jangan mengulang kesalahan kedua kali dari peristiwa yang pernah dialaminya. Apabila terjadi kembali, maka sama saja manusia itu tidak pernah belajar sejarah.
Adapun hikmah dari tragedi pembantaian penduduk sipil dikampung Tulung sebagai berikut:
1. Kebulatan tekat para pemuda Magelang yang berani melucuti senjata Tentara Jepang. Para pemuda berdalih kemerdekaan harus dipertahankan melalui kekuatan militer, maka diperlukan modal senjata yang bersumber pada hasil pelucutan senjata Tentara Jepang. Senjata-senjata itu dapat menjadi modal perjuangan dalam menghadapi Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua.
2. Penduduk sipil Kampung Tulung terkejut ketika Tentara Kido Butai datang di Kantor Kelurahan Magelang. Tidak ada perlawanan sehingga banyak di antara mereka yang gugur. Seharusnya membangun komunikasi diperlukan karena dapat meniadakan korban jiwa. Oleh sebab itu, kewaspadaan diperlukan melalui kesadaran dalam menghadapi berbagai masalah.
3. Kemandiran para pemuda ketika berjuang mempertahankan dan mengisi kemerdekaan patut direnungkan, bahkan kalau perlu menjadi suatu inspirasi kemandirian dalam pembangunan.
4. Tidak mengenal individulaistik dalam berjuang, melainkan kebersamaan dan saling pengertian ketika menghadapi ancaman. Ancaman apapun dapat diatasi dengan baik, manakala para pemuda tidak egoistik. Sebaliknya kepentingan umum harus dinomorsatukan.
5. Sejalan dengan program Kemendiknas tentang pendidikan berbasis karakter, maka semangat dan ketangguhan para pemuda Magelang dalam upaya melucuti Tentara Jepang, merupakan bukti bahwa para pemuda Magelang memiliki karakter yang kuat. Nilai-nilai perjuangan seharusnya menjadi pendorong generasi sekarang untuk berjuang menuju Bangsa Indonesia yang mandiri.

-ww-

Pasukan T Ronggolawe (2)

Berikut Penuturan : Jenderal Kehormatan (Purn) GPH. Djatikusumo

 ☆ Pajurit dari kraton

Prajurit dari Kraton JANGKA JAYABAYA. BIDANG kemiliteran bukan hal baru buat saya. Sejak kecil penghuni keraton sudah dididik kemiliteran, antara lain lewat pertunjukan wayang kulit. Anak-anak diizinkan nonton sampai pukul 11 malam. Kami juga berlatih baris-berbaris. Di samping itu tentunya belajar pencak silat dan naik kuda. Saya dilahirkan dalam lingkungan yang dibayangi oleh sindrom Perang Diponegoro.

Pada 1897--empat tahun setelah ayah naik tahta sebagai Sri Susuhunan Paku Buwono X--beliau mengumpulkan orang-orang tua, menganjurkan mereka agar mempelajari mengapa kita selalu kalah dengan penyerbu-penyerbu asing. Bukankah Keraton Surakarta selain pernah dimasuki Belanda, juga pemah diduduki Lnggris (1811--1816). Bahkan Prancis pun pemah mencengkeram kita secara tidak langsung, yakni ketika Negeri Belanda dikuasai Prancis.


Dalam pertemuan itu Bapak minta kepada para orang tua keraton untuk mencari cara mengusir penjajah. Baru dua tahun kemudian, tahun 1899, mereka menjawab. Di antara sejumlah saran, yang terpenting adalah kita harus memiliki hanya satu pimpinan. Maksudnya, agar kita bisa mendirikan negara yang bersatu semacam Majapahit. Tidak terpecah-belah dalam beberapa pimpinan yang saling bersaing.

Pada tahun 1905 Jepang mengalahkan Rusia. Ini meruntuhkan anggapan bahwa orang kulit putih tidak bisa dikalahkan oleh kulit berwarna. Maka Bapak mencoba mengirim kakaknya yang bernama Pangeran Kusumodiningrat ke Jepang, agar mendapatkan latihan bidang ketentaraan. Tapi Jepang menjawab, belum berpikir ke arah sana.

Ide ini dilaksanakan Bung Kamo pada tahun 1942, ketika Jepang sudah menduduki Indonesia. Mengapa Bapak menoleh ke Jepang? Tentunya tidak terlepas dari pengetahuan orang Jawa tentang Jangka Jayabaya atau Sabdo-Palon Noyo Genggong. Sabdo artinya sabda atau ucapan yang pasti. Palon adalah yang digembleng. Noyo artinya sakti, atau bisa juga berarti yang paling tua. Genggong, maksudnya bila ada daya pasti ada bahaya. Ini sebuah filsafat atau pandangan hidup. Dalam Sabdo Palon dikatakan, "Yang bisa mengusir kerbau bule adalah orang-orang cebol kepalang dari utara, yang membawa tongkat tebu wulung. Mereka berada di sini hanya seumur jagung.

"Dalam lingkungan seperti itulah Subandono--nama kecil saya-- dilahirkan pada 1 Juli 1917 atau pada hari ke-11 Poso, bulan puasa, di kedaton Surakarta. Ayah saya adalah Susuhunan Paku Buwono X. Dan Ibu bemama Kirono Rukmi, garwa ampeyan Sri Susuhunan, bukan permaisuri. Ibu berasal dari Kajoran, sebuah desa di selatan Klaten. Jadi saya ini punya darah desa. Kakek ibu saya memang seorang bangsawan, tapi nenek orang desa. Kelak lingkungan keraton dan suasana desa membentuk diri saya sebagai bangsawan sekaligus rakyat. Bapak menanamkan tekad untuk mengusir penjajah pada putra-putranya.

Untuk itu modal penting yang harus kita miliki antara lain mengetahui kekuatan musuh. Itulah sebabnya Bapak mengirim kami ke sekolah Belanda. Mula-mula saya di sekolahkan di Europesche Lagere School--setingkat sekolah dasar--di Solo (1921 - 1931). Hanya kalau libur saya pulang ke Kajoran. Bapak hanya sekali tiga bulan ke Kajoran, ke pesanggrahan yang dibangunnya. Agar kami lebih mengenal lawan, ada semacam tradisi baru di keraton waktu itu. Selepas sekolah dasar kami, putra-putra Sri Susuhunan, diharuskan keluar dari istana, hidup di lingkungan orang-orang Belanda. Bahkan putra tertua langsung disekolahkan di Negeri Belanda.

Akan halnya saya, selepas sekolah dasar, saya dan adik saya dititipkan kepada keluarga Belanda di Bandung. Di kota itu kami melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan Hogere Burger School (HBS) selama delapan tahun. Hanya kalau libur saya pulang ke Surakarta. Keluarga Belanda ini adalah keluarga seorang purnawirawan letnan kolonel yang tidak memiliki anak. Ada seorang anak angkat, anak Ambon, tapi waktu itu anak angkat itu sudah jadi dokter dan sudah berkeluarga. Dari keluarga Belanda itu saya memperoleh pengetahun tentang tingkah laku, cara berpikir, dan berbagai hal yang berkaitan dengan orang Belanda. Ternyata kemudian nasihat Bapak know well your enemy itu memang sangat menunjang karier militer saya. Oleh Bung Karno, saya diangkat menjadi kepala staf angkatan darat yang pertama pada 1948, posisi yang begitu strategis untuk berhadapan dengan musuh.

 ☆ PETA

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, mengapa setelah menyelesaikan sekolah menengah di Bandung saya tidak melanjutkan pendidikan di sekolah militer. Sebenarnya ayah ingin memasukkan saya ke Akademi Militer Breda di Negeri Belanda seperti kakak saya, G.P.H. Purbonegoro. Saya tidak mau. Mengapa? Karena kalau lulus dari sana, saya harus mengangkat sumpah setia kepada Sri Ratu dan konstitusi Negeri Belanda. Padahal saya tahu, sebenarnya mereka adalah musuh saya. Maka saya memilih instituut Technologie Delf di Nederland (1936- 1939). Saya tidak menduga bahwa kemudian sumpah para siswa Akmil Breda tersebut bisa batal karena Belanda menyerah kepada Jepang, Maret 1942.

Waktu itu Panglima Tentara Belanda berkata, "Dengan ini tentara Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) dibubarkan." Maka para pemuda Indonesia lulusan Breda yang masuk KNIL, seperti Pak Suryadarma, yang kemudian menjadi KSAU itu, menyatakan sumpah tersebut batal. Memang ada usaha-usaha dari pihak Belanda untuk menuntut kembali kesetiaan itu setelah usai Perang Dunia II. Misalnya, ketika kakak saya Purbonegoro menjadi penasihat militer Pemerintah Republik Indonesia berada di kapal Renville. Ia didatangi Jenderal Spoor, yang pernah sekamar dengannya di Breda. Spoor mengingatkan bahwa lulusan Breda masih terikat sumpah setia kepada Sri Ratu. Kakak saya menjawab, "Itu kan sudah dibatalkan ketika Belanda menyerah kalah tanpa syarat kepada Jepang.

"Karena pecah Perang Dunia II, pada Januari 1940 saya kembali ke Indonesia, meninggalkan Delf. Saya meneruskan pendidikan ke Institut Teknologi Bandung, tahun 1940 sampai 1941. Sementara itu, Perang Pasifik pecah. Belanda semakin banyak merekrut pemuda Indonesia untuk dijadikan anggota milisi umum. Ketika itulah saya ingat tentang Sabdo Palon Noyo Genggong bahwa "Jepang akan berada di sini seumur jagung." Ketika itu saya sudah membayangkan saatnya tak lama lagi Jepang akan meninggalkan Indonesia.

Pengetahuan tentang Jangka Jayabaya ini sedikit-banyak telah memotivasi saya untuk memasuki bidang kemiliteran. Maka, atas anjuran Ayah, saya masuk milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung, tahun 1941-1942. Lembaga pendidikan militer bagi para milisi ini bertugas mencetak perwira cadangan untuk KNIL. Saya memperoleh pangkat kopral. Waktu itu di Indonesia sudah ada Akademi Militer Bandung, cabang Akademi Militer Breda di Belanda. Cabang ini dibuka di tahun 1940, ketika Belanda dicaplok Jerman. Setahu saya, yang pernah masuk di Akademi itu antara lain Kartakusumah, A.H. Nasution, dan T.B. Simatupang. Saya sendiri tidak pernah mengikuti pendidikan di situ. Belum sampai delapan bulan saya di CORO, Jepang mendarat. Ketika itu taruna CORO ditempatkan di Tasikmalaya, untuk menjaga lapangan terbang Cibeureum. Karena itulah banyak perwira Belanda berhasil menyelamatkan diri dari kepungan Jepang. Tanggai 2 Maret 1942 CORO dipindahkan ke Ciater, Subang, Jawa Barat.

Sesampai di sana, Senin sore, dor, dor, dor.... ternyata Jepang sudah menunggu. Sebagai kopral taruna CORO, tentu saja saya bertempur di pihak Belanda. Tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. KNIL bubar.

Rakyat Indonesia menyambut Dai-Nippon sebagai saudara tua dengan penuh kekaguman. Suatu kali Bung Kamo pergi ke Negeri Sakura, minta supaya Jepang melatih bangsa Indonesia di bidang kemiliteran. Kabarnya, di sana Bung Karno disuguhi demonstrasi latihan perang-perangan oleh siswa-siswa Akademi Miiiter Jepang, dan amat terkesan.

Maka, atas permintaan Sukarno, di akhir tahun 1943, dibentuklah PETA melalui O Samurai, semacam keputusan Presiden. Saya masuk PETA di Solo. Yang harus dicatat, PETA bukan bagian dari tentara Jepang. Sebelum masuk PETA, saya menganggur. Sehari-hari saya latihan setengah kemiliteran dengan bocah-bocah di Solo, sekadar melatih fisik dan mental untuk menyiapkan diri bila sewaktu-waktu diperlukan. Ini bukan kesatuan, cuma kumpulan anak-anak muda saja. Nah, ketika Bung Karno minta sukarelawan dari kalangan pemuda-pemuda Indonesia, dari kumpulan kami itu banyak yang masuk, termasuk saya.

Suatu hari saya bersama sekitar 15 pemuda Indonesia yang lain ditawari belajar di Akademi Militer Jepang. Saya menolak. Sebab, ini menurut pikiran saya waktu itu, kalau lulus lantas menjadi tentara siapa? Yang berangkat antara lain Pak Yoga Soegama, yang kemudian menjadi kepala Bakin dan sekarang rektor Universitas Persada, Jakarta. Jadi saya cuma masuk PETA, yang lengkapnya disebut Tentara Sukarela Pembela Tanah Air.

Hanya dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para prajurit PETA. Ini yang saya kagumi dari orang Jepang. Padahal prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma sekolah rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang masih lugu? Mereka belum pernah memegang senapan, apalagi mortir. Mungkin melihat saja baru waktu di PETA. Bagaimana mereka mengerti soal trigonometri dan koniometri yang diperlukan untuk menembakkan mortir? November, Desember 1944, sampai Januari 1945, saya mengikuti pendidikan di Bo'ei Giyugun Kanbu Renseitai, pendidikan calon perwira PETA, di Bogor. Kami dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama untuk calon komandan batalyon. Di kelompok ini banyak kiainya.

Melihat para kiai sekonyong-konyong disuruh latihan baris-berbaris, ya aneh juga. Kelompok kedua, kelompok komandan kompi, termasuk saya. Dan ketiga, kelompok calon komandan peleton. Saya termasuk angkatan pertama yang berlatih di Bogor. Latihan calon perwira amat keras. Kena tempeleng itu biasa. Tapi saya belum pernah ditempeleng. Pagi, siang, malam, terus latihan. Praktis tidur cuma enam jam. Padahal waktu itu musim hujan. Mestinya kami berlatih selama enam bulan. Entah bagaimana, cuma dilangsungkan tiga bulan. Kalau saya bandingkan dengan latihan di CORO, latihan di PETA itu luar biasa hebat. CORO itu latihan militer untuk ndoro, priyayi. Lha, wong Jepang sudah sampai di Singapura, tapi latihannya itu-itu juga, baris-berbaris dan menghafal teori. Pelatihnya pun terdiri atas para perwira Londo, Belanda, yang belum pernah berperang. Makanya, waktu Jepang menyerang, ada komandan yang bunuh diri. Juga banyak komandan yang tidak mau lagi memimpin prajurit. Lha, ini komandan apa. PETA lain. Kami dilatih oleh perwira-perwira yang terlibat pertempuran di Cina. Hebat. Bayangkan, bila 17 Agustus 1945 tidak ada PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70.000 perajurit, mau apa kita?

Tentara KNIL sudah dibubarkan. PETA-lah yang memegang peranan. Makanya kemudian kita memilih Soedirman, anggota PETA, sebagai Panglima Besar. Dia tahu kemampuan dan keterbatasan pasukan kita. Delapan belas bulan orang-orang PETA tidur bersama-sama di bawah satu atap--sejak PETA dibentuk hingga Jepang kalah perang. So we know well each other. Karena pengalaman mengikuti PETA pula mengapa saya ditunjuk menjadi kepala staf angkatan darat. Bung Hatta tidak puas terhadap lulusan dari Breda. "Jangan-jangan mereka nanti mendidik perwira-perwira seperti di Breda, yang bisanya cuma mundur, bubar," kata Bung Hatta waktu itu. Pak Harto juga orang PETA. Beliau masuk dalam PETA khusus, yaitu pasukan yang dididik untuk gerilya. Mereka dilatih di Jaga Monyet, Jakarta.

Sebelumnya mereka dilatih di Bogor. Pada 1945 itu boleh dikatakan ada tiga kelompok militer: PETA, bekas KNL, dan lasykar rakyat. Yang dari lasykar, misalnya Hizbullah, Pasukan Banteng, dan sebagainya. Para perwiranya terdiri atas mereka yang lulus dari Akademi Militer Mister Cornelis Jatinegara, seperti Pak Uripsoemohardjo, lalu dari Akademi Militer Breda, Akademi Militer Bandung, dan dari PETA. Dari merekalah TNI terbentuk.

Itu sebabnya pada 1947 kita mengadakan rekapitulasi dan rasionalisasi TNI untuk menghasilkan tentara reguler yang lebih baik. Selepas kemerdekaan, saya diminta oleh Pak Urip Sumahardjo (Kepala Badan Keamanan Rakyat) membentuk satu batalyon BKR di Surakarta. Saya dipilih menjadi komandannya. Belum lagi lima bulan (kalau tak salah pada bulan Oktober 1945) BKR kami dua kali diminta membantu dor-dor-an dengan Jepang di Semarang. Di situ ada lelucon. Dulu sih tak terasa lucu, tapi sekarang mungkin lucu.

Begini. Jepang mengusulkan gencatan senjata. Yang diutus oleh Pak Urip adalah Umar Slamet (ini bukan Slamet Riyadi, Iho). Mas Slamet juga bekas PETA dan Komandan BKR di Yogya. Kami pernah berlatih bersama di Bogor. Sekarang dia sudah almarhum. Sekitar pukul 18.30 saya dijemput Mas Slamet, padahal perundingan direncanakan pada pukul 12 malam. Dia rupanya ngeri sebab di markas Jepang ada senapan mesin Jepang. Akhirnya kami pergi bertiga--Mas Slamet, saya, dan Hadiwinangun (bekas Residen Cirebon) ke Jatingaleh--ke markas Jepang yang dijadikan tempat perundingan itu. Di markas Jepang terlihat banyak orang Jepang yang luka akibat pertempuran dengan anak-anak kita.

Sebaliknya, di pihak kami juga banyak korban. Saya berbisik kepada Mas Slamet sambil berjalan menuju ruang perundingan, "Mas, pokoknya kita harus selamat keluar dari sini." Perundingan dilakukan di ruangan komandan Jepang yang luas. Dia mempersilakan kami. Jleg! Kami duduk. Bulu kuduk saya berdiri sekaligus bangga karena bisa duduk sederajat dengan komandan Jepang. Tanpa banyak basa-basi kami segera membuka perundingan.

Mas Slamet minta agar Jepang menyerah kepada pemerintah Indonesia. Jepang langsung nggebrak! Dan Mas Slamet berbisik kepada saya, "Mas Djati, kalau kita mati di sini tidak ada orang tahu." Saya diam saja. Apa yang dikatakan Jepang? "Tidak ada ketentuan bahwa kami harus menyerah kepada Pemerintah Indonesia. Kami hanya akan menyerah kepada Tentara Sekutu." Perundingan gagal. Syukurlah, kami dapat keluar dengan selamat.


 ☆ PERANG GURU YANG BAIK SELESAI
Selesai Perang Dunia II Belanda harus membangun kembali negaranya yang rusak. Negeri Belanda itu rusak betul, Lho. Dari mana memperoleh uang. Tentunya mereka berharap dari jajahan-jajahannya. Dan yang memasukkan devisa paling besar waktu itu adalah perkebunan-perkebunan. Maka mereka membonceng Sekutu memasuki Indonesia, untuk menjajah negeri ini kembali. Letnan Gubernur Jenderai Van Mook, pemimpin tertinggi Belanda di Indonesia setelah PD II, mengerahkan tentaranya ke Jawa dan Sumatera, dua pulau yang memiliki banyak perkebunan. Tentu saja van Mook tahu daerah-daerah mana yang perlu diprioritaskan. Sebab, dia adalah Direktur Departemen Urusan Ekonomi di Batavia sebelum PD II. Tapi Jenderal Spoor, yang memimpin tentara Belanda di Indonesia, harus menghadapi kenyataan yang sama sekali di luar dugaannya. Rakyat Indonesia melawan dengan gigih. Kepala intelejen Belanda di Australia rupanya memperoleh laporan yang salah. Intel-intelnya melaporkan bahwa keadaan Indonesia belum berubah. Spoor mengira bila Belanda mendarat, mereka akan diterima dengan baik oleh rakyat. Dia tidak memahami bahwa selama Belanda pergi ada yang namanya PETA yang jumlahnya 65 batalyon atau kira-kira 70 ribu personel. Kalau jumlah tentara PETA dijadikan divisi, maka jumlahnya 7 divisi (1 divisi adalah 9 batalyon). Jumlah TNI kita memang 7 divisi.

Bulan November-- sebulan setelah bertempur melawan Jepang di Semarang--Pak Urip memanggil saya lagi. Dia bilang, "Kamu jadi panglima divisi. Pilih yang mana?" Maka, sejak 1 November 1945 sampai 1 Juni 1945 saya menjabat sebagai Panglima Divisi IV Tentara Republik Indonesia (TRI), bermarkas di Salatiga. Wilayah pertahanan saya meliputi Keresidenan Pekalongan, Semarang, dan Pati. Di daerah-daerah itu Sekutu sudah masuk.

Ha... waktu itulah saya berhadapan dengan Sekutu yang berintikan tentara Inggris di dataran tinggi Rawa Pening dan Semarang. Saya pernah pula menjadi delegasi perundingan genjatan sejata di Semarang. Sekutu memang pernah mencoba memasuki Jawa Tengah lewat Magelang, tapi kami dorong lagi ke Ambarawa dan Semarang, lalu akhirnya ke Surabaya.

Begitu bersemangatnya perlawanan rakyat dan tentara kita. Banyak yang berkata, "Pak, habiskan itu Inggris." Saya jawab, "Mereka habis, kita juga habis." Lha, mereka lebih terlatih ketimbang kita, kok. Persenjataannya pun lebih lengkap, canggih lagi. Nganggo montor mabur, nggago mortir, nganggo panser, nganggo reno-reno (memakai pesawat terbang, mortir, panser, dan macam- macam). Lagi pula kebanyakan dari tentara Inggris itu orang India dan Pakistan, yang disebut Gurkha. "Mereka itu kawan kita. Bukankah India dan Pakistan sendiri ingin merdeka? Mengapa harus kita bunuh? Dorong saja ke Surabaya," kata saya. Tentara Inggris sendiri tampaknya tak terlalu bersemangat bertempur dengan kami. Sebab, tugas mereka sebenarnya adalah melucuti tentara Jepang, bukan bertempur melawan bangsa Indonesia. Jepang sudah dilucuti, jadi apalagi? Mungkin itulah yang mendorong Inggris mengajak kita mengadakan perjanjian gencatan senjata di Semarang, kalau saya tidak lupa, pada bulan Maret 1946. Lalu mereka mundur ke Surabaya. Praktis di Jawa Tengah dan Jawa Timur Sekutu hanya berada di daerah pesisir, seperti Surabaya.

Seingat saya, kota di pedalaman yang bisa dimasuki Sekutu adalah Bandung. Saya nggak pemah mengerti mengapa mereka berhasil memasuki Bandung. Padahal medannya lebih berat ketimbang Jawa Timur. Untuk mencapai Bandung kan harus melalui daerah bergunung-gunung. Mengapa pasukan kita tidak menggugurkan gunung-gunung itu untuk menghambat Sekutu? Atau menghancurkan jembatan-jembatan besar yang curam itu.

Juni 1946 terjadi reorganisasi di jajaran tentara. Saya ditunjuk menjadi Panglima Divisi V (1 Juni 1946 - 1 Maret 1948). Wilayah teritorial saya meliputi Bojonegoro, Pati, dan Muncung. Divisi V disebut juga dengan Divisi Ronggolawe, ini nama seorang senopati Majapahit yang berhasil menangkal ekspedisi tentara Kubilai Khan. Anggota pasukan saya antara lain Sudharmono (sekarang wakil presiden) dan Ismail Saleh (menteri kehakiman).

Mula-mula markas saya berada di Mantingan, persis di tengah hutan jati. Di masa itulah, dan di hutan jati pula, saya mengawini Raden Ayu Suharsi, tepatnya pada tahun 1947. Aneh juga, Wong, manten anyar (pengantin baru), kok di tengah hutan. Kelak, kami dikaruniai tiga orang anak dan lima cucu. Aksi polisionil Belanda I pecah tahun 1947.

Waktu itu saya sudah Panglima Divisi V Ronggolawe. Perlawanan rakyat berkecamuk di Jawa Timur. Dulu saya khawatir Belanda menyerang saya. Ternyata mereka tidak terlalu peduli pada hutan jati yang menyebar luas dari sebelah timur Bojonegoro sampai Kedung Jati, dan ke sebelah selatan hingga Ngawi. Kami tidak berdiam diri. Saya mengerahkan pasukan ke sektor Gresik-Lamongan. Dalam suasana seperti itu ternyata banyak perwira dan taruna kita yang rewel. Ada yang maju-mundur untuk turun ke medan pertempuran.

"Kita harus ikut bertempur," begitu saya tegaskan kepada perwira-perwira dan taruna-taruna itu. Mereka berkata, "Kalau gugur bagaimana?" Saya jawab, "Lho, perang kok tanya kalau gugur. Kalau prajurit- prajurit biasa boleh gugur, apa kamu tak boleh gugur? ini pelajaran, guru perang terbaik adalah perang itu sendiri. Sekarang ada kesempatan untuk perang, ada musuh di depan mata. Cari musuh itu susah, mahal". Agustus 1947 saya memindahkan markas ke Cepu tempat minyak. Situasinya sudah berubah. Pertempuran dengan Belanda mereda.

 ☆ MENJADI JEMBATAN PIKIRAN TAHUN 1948

Pemerintah Republik memanggil saya ke Yogya. Waktu itu sudah Kabinet Hatta, menggantikan Kabinet Syahrir. Sejak saat itu saya semakin dekat dengan Bung Kamo. Saya berkenalan dengan beliau pada tahun 1947, ketika Panglima Besar Soedirman mengajak saya menghadiri sidang-sidang Dewan Siasat Militer, lembaga yang dipimpin langsung oleh Bung Kamo. Di situ ternyata saya cukup diperlukan. Terus terang saja, di antara kawan-kawan militer yang lancar berbahasa Inggris dan Belanda kan saya. Pak Dirman sendiri mengenal Bung Kamo baru setelah Pak Dirman menjadi Panglima Besar, Iho. Nah, untuk menghadapi orang-orang pintar, seperti Bung Hatta, Syahrir, Bung Kamo, dan menteri-menteri, Pak Dirman membawa saya. Mungkin karena beliau merasa sebagai orang desa, guru sekolah Muharnmadiyah, yang agak sulit memahami cara berpikir tokoh-tokoh brilyan di kabinet. Saya sendiri mengakui bahwa Bung Kamo, Bung Hatta, dan lain-lain adalah orang hebat yang berpikir secara modern dan pernah belajar di mana-mana. Sebaliknya, banyak anggota kabinet yang tidak memahami jalan pikiran Pak Dirman, Gatot Subroto, dan para pemimpin militer yang umumnya dari desa. Itu sebabnya saya juga dipercayai oleh anggota kabinet dan pemimpin-pemimpin militer untuk menjembatani mereka. Sekali waktu, seusai sidang Dewan Siasat Militer, Bung Kamo bilang pada saya, "Lain kali jangan mengajak Gatot Subroto." Saya tanya kenapa. "Aku ndak mengerti pikirannya," jawab Bung Karno. Lha, Gatot itu blak-blakan. Dia pernah bilang, "Aku iki wong bodo. Sekolah dasar wae ora rampung." (Aku ini orang bodoh. Sekolah Dasar saja tidak selesai.) Memang komandan-komandan resimen umumnya dari desa. Ada guru Taman Siswa, guru Muhammadiyah, ada kiai, dan sebagainya.

Kolanel Sungkono (sebelum Rekapitulasi berpangkat Mayor Jenderal, lalu diturunkan menjadi Kolonel), Panglima Divisi VI Jawa Timur, pendidikannya cuma sampai sekolah dasar. Tapi harus dicatat, di kalangan rakyat yang didengar justru orang-orang militer ini. Pak Sungkono, Gatot Subroto, Pak Dirman, misalnya. Makanya sering saya katakan PETA adalah satria bambangan--satria dari desa. Seumpama mereka bukan dari desa, kami tak akan mendapat dukungan orang desa. Mereka mendukung karena anak-anak mereka menjadi prajurit kami. Rakyat pula yang menyediakan logistik untuk tentara.

Dalam Dewan Siasat Militer sering dibicarakan kemungkinan Belanda menyerang kembali. Dan kami yakin itu akan terjadi. Kami pun bersiap-siap dan berbagai alternatif sudah dipikirkan. Misalnya, ada rencana Bung Kamo dan Bung Hatta akan diungsikan luar negeri bila Belanda menyerang. Alternatif lain, para pemimpin negara, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, akan ikut bergerilya bersama-sama militer dan rakyat. Dewan juga telah merencanakan untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), untuk membuktikan pada dunia bahwa Pemerintah Republik yang sah masih ada. Di samping itu diputuskan pula untuk membentuk wadah setiap angkatan, termasuk angkatan darat. Nah, Bung Karno mengusulkan agar kepala staf angkatan adalah orang yang mengenal lawan dan kawan. Kebetulan saya dianggap memenuhi syarat menduduki jabatan kepala staf angkatan darat (KSAD) yang pertama (1 Maret 1948 -1 Mei 1950).

Belanda akhirnya benar-benar menyerang Yogyakarta, 19 Desember 1948. Hari itu juga Dewan Siasat Militer bersidang. Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah anggota kabinet lainnya tetap tinggal di istana. Diputuskan juga untuk membentuk PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Bukittinggi dan sebagian lagi di Aceh. Teman-teman PDRI yang masih hidup antara lain Jenderal Hidayat, Jenderal Askari. Semula di Jawa juga ada anggota Kabinet PDRI, misalnya, Menteri Soepeno yang kemudian gugur. Di New Delhi, India, juga dibentuk wakil Pemerintah di luar negeri. Mengapa Bung Karno dan anggota kabinet tidak lari ke luar negeri atau ikut bergerilya? Bila mereka ke luar negeri, Belanda tentu punya alasan untuk menyatakan Republik sudah tenggelam, dan menyatakan perlawanan rakyat Indonesia adalah tindakan kriminal. Kalau mere ka ikut bergerilya, siapa yang bisa menjamin keselamatan mereka? Belanda tentu akan berusaha membunuh mereka, sedangkan kemampuan pasukan kita belum cukup tangguh. Dengan adanya PDRI dan wakil pemerintah Republik di luar negeri, ekslstensi negara Indonesia tetap ada. Dan ketika Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap Belanda, mereka hanyalah warga negara Indonesia biasa.

Dengan demikian Belanda tidak bisa menyatakan Republik telah tenggelam karena kita masih memiliki Pemerintah Darurat. Hampir seluruh anggota kabinet hadir daiam sidang Dewan Siasat Militer itu Tapi, sepengetahuan saya tidak ada yang dari TNI. Meskipun Panglima Besar Soedirman, T.B. Simatupang, Suryadharma, ada di istana waktu itu. Waktu itu A.H. Nasution berada di jawa Timur. Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Adisucipto) sudah jatuh ke tangan Belanda. Saya tidak tahu mengapa Nasution tidak memasuki kota (Yogyakarta), melainkan ke Batu Ceper. Padahal jarak antara Yogya dan Batu Ceper paling-paling cuma 40 kilometer. Bisa saja ditempuh dengan 12 jam jalan kaki. Waktu itu, sebagai KSAD, saya berkantor di kantor Menteri Pengairan, di selatan Maguwo. Selain sebagai KSAD waktu itu saya juga bertanggung jawab atas keselamatan para taruna. Jumlahnya tak banyak, kira-kira 150 orang. Mereka ini adalah calon perwira pengganti.

Saya juga tidak hadir dalam sidang Dewan Siasat Militer itu. Latif Hendraningrat, Panglima Komando Militer Yogyakarta Kota, dua kali menelepon saya. Dia bilang, "Kau dipanggil Bung Kamo ke istana." Saya jawab, "Sidang Kabinet toh akan jalan tanpa saya. Kalau saya pergi dari sini, para taruna ini akan buyar." Saya juga titip pesan kepada Latief agar disampaikan kepada Bung Karno, "Kalau sampai pemerintah dan kepala negara ke luar negeri, kita bisa dinyatakan tenggelam." Mengapa saya tidak ke istana dan memilih bertahan di markas? Perhitungan saya, kalau saya pergi ke Istana, para taruna akan buyar Asrama itu terletak tidak jauh dari marka Brigade Soeharto.

Sebelum 19 Desember saya sudah melihat gelagat bahwa Belanda akan menyerang. Saya bilang kepada para taruna, "Sekarang kita ke luar kota, menghadang Belanda di Semaki." Ketika itulah Pak Harto datang. Dia menanyakan langkah-langkah apa yang harus diambil.

Saya tanya, pasukannya di mana? Menurut perintah Panglima Besar Soedirman, pasukan Brigade Soeharto ditempatkan di sepanjang jalan antara Karanganyar (Bagelen) dan Wates (Yogyakarta). Jadi di dalam kota hnya ada salu kompi. Satu peleton di Maguwo, dua peleton di sebelah barat. Saya bilang kepada Pak Harto, "Saya mau menghadang Belanda di Semaki." Sesampai di Semaki, saya bertemu dengan satu regu CPM. Saya bertanya kepada mereka, "Mana batalyon yang mestinya di sini?" Mereka menjawab, "Sudah berangkat tadi malam." Seluruh pasukan Siliwangi yang berada di Semaki (satu balyon) dan di Jembatan Gajah Wong (dua batalyon) sudah pergi.

Praktis Yogyakarta kosong. Yang tinggal hanya satu kompi Brigade Soeharto, dua kompi taruna di bawah tanggung jawab saya, dan sejumlah lasykar. Praktis, sewaktu memasuki Yogyakarta, Belanda tidak memperoleh perlawanan. Seandainya pasukan Siliwangi tidak pergi, keadaannya mungkin akan lain. Mungkin bisa ramai. Selesai berperang, saya katakan kepada mantan Kepala Staf Divisi Belanda di Jawa Tengah. "You hebat betul." Dia menjawab dengan agak heran, "Sebetulnya kami menurunkan satu atau dua kompi pasukan payung hanya untuk mengacau saja. Kami sudah perhitungkarn mereka akan habis. Tapi ketika kami mendarat kok tidak ada perlawanan?" Teryata pesawat Belanda sedikit. Lha, wong yang menerjunkan pasukan payung itu hanya tiga pesawat Dakota DC-2 yang diterbangkan dari Andir, Bandung. Sesuai menerjunkan pasukan di Yogya, pesawat-pesawat ini pula yang diperintahkan ke Semarang untuk mengangkut batalyon cadangan ke Maguwo. Dan tiba di Yogya 20 Desember, sehari setelah awal penyerbuan. Belanda juga melancarkan serangan melalui darat. Belanda masuk ke Yogyakarta kan menyusup melalui Boyolali, daerahnya Slamet Riyadi. Slamet-lah yang bertugas menahan Belanda di daerah itu. Namun, pertahanan Slamet bobol. Maklum, pasukan Slamet paling-paling cuma satu batalyon sedangkan Belanda dua batalyon. Belanda kemudian menyerbu Kaliurang, ke markas Komisi Tiga Negara (KTN), tidak langsung ke kota (Yogyakarta).

Memang sasaran Belanda adalah Kaliurang, untuk mengisolasi tim KTN (Komisi Tiga Negara) yang ditugaskan oleh PBB. Setelah perjanjian Renville, PBB memang sudah mengambil alih penanganan atas konflik Indonesia- Belanda--hal yang belum dilakukan setelah Perjanjian Linggarjati. Dengan isolasi tersebut KTN tidak bisa berhubungan dengan Dewan Keamanan PBB utuk melaporkan tindakan Belanda yang menyerang Yogyakarta tanpa restu PBB. Posisi saya tidak diserang, karena Belanda memang tidak punya pasukan. Baru setelah saya pindah ke utara, Belanda sering mengadakan patroli, tapi tidak berhasil menduduki markas. Sekali-sekali terjadi pertempuran kecil-kecilan Menjelang KMB, Konperensi Meja Bundar, saya masih bolak-balik Jakarta-Yogya. Saya menjadi anggota Gencatan Senjata Pusat di Jakarta, khusus di bidang militer. Ketuanya Pak Wongsonegoro.

PERISTIWA 17 OKTOBER TAHUN 1950 berlaku Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang bersifat liberal demokratis. RIS memang telah dibubarkan pada Agustus 1950. Tetapi UUD-nya tetap jalan. Baru kemudian diganti dengan UUD Sementara yang juga liberal demokratis. Ya, dengan segala hommat pada rekan-rekan politisi, waktu itu usia kabinet rata-rata hanya 18 bulan. Bagaimana mereka sempat memikirkan program kerja dan pembangunan. Banyak menteri yang tidak tahu harus melakukan apa. Kekuasaan formal memang di tangan kabinet. Tetapi nyatanya yang didengar hanya Bung Karno.

Rakyat jadi tidak tahu di mana letak kekuasaan itu sebenarnya. Pernah sekali waktu terjadi peristiwa lucu yang sebenarnya sangat serius. Partai-partai politik tidak bisa membentuk kabinet. Akhirnya Bung Kamo mengeluarkan Surat Keputusan yang bunyinya begini "Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Dengan ini menunjuk warga negara Indonesia Sukarno untuk membentuk kabinet." Sekarang kita boleh tertawa. Tetapi dulu itu masaiah serius. Lalu pemimpin-pemimpin partai politik dikumpulkan di istana. Saya lupa, di Istana Bogor atau istana Merdeka. "Sudah, sekarang bentuk kabinet," kata Bung Kamo. "Nanti dulu, Bung. Kami perlu bicara dengan pimpinan partai lainnya," jawab orang-orang partai. "Lho, katanya kamu itu pemimpin rakyat. Kok, begini saja mesti mengadakan pembicaraan dulu. Boleh. Silakan," Bung Kamo menyahut. Mereka angkat telepon. Padahal semua telepon sudah diputus. Akhimya terbentuk kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), minus Masyumi. Sesudah itu keluar lagi Surat Keputusan Soekamo.

"Dengan Ini warga negara Soekarno menyerahkan kembali tugasnya kepada Presiden Republik Indonesia Soekarno." Coba, coba, bayangkan. Kacau. Dalam setting kekacauan kabinet itulah peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi. Saya memang aktif dalam gerakan tersebut. Ketika itu saya perwira tinggi di Kementerian Pertahanan. Jabatan saya Kepala Biro Perancang Operasi merangkap Kepaia Biro Pendidikan Pusat (1 Juii 1950--1 November 1952). Sayalah yang mula-mula mengambil inisiatif mengumpulkan para pimpinan TNI (AU, AD, AL) di aula Hankam sekarang. Saya bilang, "Mbok ya sekarang kita kembali saja ke UUD 1945. At least kita bisa tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas kekuasaan yang ada menurut UUD 1945 itu. Sebab, kenyataannya, rakyat hanya mendengar Bung Kamo, Presiden. Padahal ada Perdana Menteri selaku pemegang kekuasaan pemerintahan." Tidak tercapai konsensus dalam pertemuan itu. Entah bagaimana ceritanya, apa yang telah saya mulai itu dioper oleh Markas Besar Angkatan Darat, yang KSAD-nya waktu itu A.H. Nasution. Sementara itu, suara-suara dari kaum politisi tentu saja menentang. Mereka tetap menginginkan liberalisme. Tapi bagaimana kita bisa membangun kalau sebentar-sebentar kabinet diganti? Bagaimana membicarakan kembalinya Irian Barat kaiau setiap 18 bulan ada kabinet baru? Hubungan miiiter dengan sipil memang tak enak. Kami begitu mendongkol pada oknum-oknum partai. Mau tidak mau, peristiwa lama diungkit pula: waktu perang gerilya kaiian di mana? Ketika itu tidak ada orang-orang partai yang turun ke tengah rakyat, membantu gerilya. Yang pemah saya jumpai cuma Jaksa Agung Kasman Singodimedjo. Beliau dua kali berjalan dari Jawa Barat ke Jawa Timur, bolak-balik. Maklum, beliau itu kan bekas PETA. Jadi, tidak takut. Politisi lainnya? tidak ada. Jangankan membantu, memberi semangat kepada rakyat saja tidak. Pada hari kejadian (17 Oktober) saya baru minum kopi bersama sejumlah perwira senior, seperti T.B. Simatupang, Dan Yahya, dan lain-lain di Kementerian Pertahanan. Di luar terdengar ramai-ramai demonstrasi. Tak lama kemudian kami mendapat telepon dari Istana, disuruh datang. Dalam perjalanan ke Istana, saya melihat meriam, tank, panser nongkrong di kantor telepon dekat Istana. Sampai di Istana, ternyata sudah ada KASAD Nasution dan perwira-perwira senior lainnya. Bung Kamo dan Bung Hatta juga sudah ada. Saya dan T.B. Simatupang bergabung. Di situlah perwira-perwira TNI mengusuikan untuk kembali ke UUD 1945 dan agar parlemen dibubarkan dalam waktu dekat ini. Ada kejadian lucu lagi.

Sesudah usul TNI disampaikan, kami omong-omong santai. Kawilarang mau merokok. Dia berada di sebelah saya. Saya sederet dengan Askari dan Kawilarang. Asbak ada di depan saya. Saya berikan kepada Askari supaya diteruskan kepada Kawilarang. Waktu dipegang Askari, mrucut, jatuh ke lantai dan pecah, derr. Wartawan-wartawan di luar mengira ada apa-apa. Mereka pikir keadaan di dalam tegang betul. Padahal cuma asbak jatuh. Ada anggapan kekacauan itu disebabkan karena Partai Sosialis Indonesia (PSI) ke tubuh TNI.

Sebenarnya tidak begitu. Yang menjadi Sekretaris Jenderal Pertahanan waktu itu adalah Ali Budiardjo. Dia itu PSI. Simatupang juga dituduh PSI karena istrinya adalah adik Ali Budiardjo. Tapi, sepengetahuan saya, tidak. Simatupang memang banyak didengar oleh orang-orang PSI karena dia memang brilyan. Tapi keliru kalauu dia disebut sebagai PSI. Nasution juga bukan. Waktu itu dia sudah tidak punya kekuatan apa-apa. Orang-orang partai menghendaki dibentuknya tentara profesional meniru Barat. Sebagian kecil perwira militer pun berpikir begitu. Haa, mungkin ini yang dimaksud adanya orang partai yang menyusup ke militer. Tapi sebagian besar TNI menolak. Karena kalau kami meniru Barat berarti mengkhianati rakyat. Sebab, sejarah TNI tidak terlepas dari peranan rakyat.

Rakyat-lah yang membantu dalam perang gerilya. Militer-lah yang didengar rakyat ketika para politisi tidak bisa menjalankan pemerintahan. TNI bukan hanya sekadar alat politisi sipil Apalagi kalau sipilnya semau gue. Cekcok terus. Sampa akhimya konflik di mana-mana. Kalau nasi sudah jadi bubur, militer yang disuruh menyelesaikan. Lihat peristiwa DI-TII, PRRI-Permesta. Militer disuruh menembak bangsa sendiri. Siapa yang senang menembaki bangsa sendiri? Mereka sebagai politisi, enak. Kalau sudah tidah bisa menyelesaikan masalah bisa mundur. Lha, militer? Masa, tentara dibubarkan? Kan tak mungkin.

Sesudah peristiwa 17 Oktober itu Nasution diberhentikan sebagai KSAD, digantikan oleh Bambang Sugeng. Gatot Subroto (wakil Kasad) juga dicopot. Saya sendiri disuruh ke Amerika, ke Port Levenberg. Saya bilang, saya tidak mau. Sebab, Levenberg itu jatah untuk Panglima Divisi. Saya ini bekas Kasad. Akhirnya, saya disuruh ke Bandung, menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad), menggantikan Mokoginta. Di situ saya menjabat sejak 1 November 1952 sampai 13 Februari 1955. Sedangkan yang disuruh ke Levenberg adalah Mokoginta. Dia paling aktif menyiapkan peristiwa 17 Oktober itu. Gatot Subroto pulang ke Ungaran. Saya disebut-sebut sebagai calon pengganti Nasution sebagai Kasad. Kalau itu benar, saya nggak akan mau. "Wong Jowo iku ora ilok mbaleni sego wadang." (Tidak pantas bagi orang Jawa memakan kembali nasi basi). Dulu saya pernah Kasad. Lagi pula saya ini termasuk biang keladi 17 Oktober. Mana mungkin Bung Karno memilih saya. Kemudian saya menjadi Direktur Zeni Angkatan Darat (29 Februari 1955-24 Juni 1958). Di dalam pasukan Zeni itu ada Try Soetrisno (Pangab sekarang) dan 51 orang yang memiliki kemampuan rata-rata sama. Misalnya, Dirjen Imigrasi sekarang, Rony Sikap Sinuraya. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi gubernur. Semasa menjadi Direktur Zeni saya pernah membantu Panglima Jamin Ginting menyelesaikan PRRI/Permesta. Saya ada di Sumatera kira-kira lima bulan. Saya berusaha agar konflik tersebut dapat diselesaikan tanpa meninggaikan rasa sakit hati. Boleh dikatakan saya bertindak sebagai penengah antara pihak Jamin Ginting (pemerintah) dan Kolonel Simbolon (PRRI). Saya bilang kepada orang PRRI, "Kalau memang Pemerintah tidak becus melaksanakan pembangunan, dengan cara kalian ini pelaksanaan pembangunan akan lebih jauh lagi." Saya juga ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa PRRI adalah persoalan dalam negeri yang bisa diselesaikan dengan baik.

Negara lain tak usah campur tangan. Anda tahu kan, AS ketika itu diduga terlibat membantu PRRI.

 ☆ KONFRONTRASI INDONESIA-MALAYSIA

BUNG Karno menunjuk saya sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Malaya (1 Juni 1963--25 Agustus 1963). Jadi sebelum sempat terbentuk Malaysia, saya sudah ditarik pulang. Saya ini bangsawan, orang keraton. Bung Karno tahu yang paling berkuasa di Maldya juga keluarga bangsawan. Suatu malam diadakan pertunjukan kesenian Indonesia.

Saya dipersilakan duduk di kursi yang biasanya dipakai oleh Yang Dipertuan Agung, kepala negara Malaya. Kawan-kawan duta besar dari negara sahabat mengomel, "Mengapa you, Duta Besar Indonesia, duduk di tempat yang cuma diperuntukkan Yang Dipertuan Agung?" Sambil bergurau saya menjawab, "Begini. Rakyat Malaya itu separuh kepunyaan Yang Dipertuan Agung, separuh lagi kepunyaan saya. Soalnya, Yang Dipertuan Agung itu keturunan Bugis." Orang sering tidak tahu apa yang dihasilKan oleh Kabinet Dwikora.

Ketika itu saya ikut menyusun Deklarasi Malaya, Filipina, Indonesia (Maphilindo)-suatu kawasan damai di Asia Tenggara. Indonesia dan Malaya mengakui Mindanao sebagai bagian integral dari Filipina. Tetapi Indonesia dan Malaya minta otonomi yang seluas-luasnya untuk wilayah itu. Yang penting lagi adalah Malaya, Filipina, Indonesia tidak akan menerima pangkalan asing. Apabila masih ada pangkalan asing di kawasan ini, sifatnya hanya sementara. Pangkalan asing itu juga tidak boleh dipakai untuk melancarkan subversib ke negara tetangganya. Ternyata Malaya merasa keberatan melaksanakannya. Tentara Inggris masih berada di negara itu. Bung Karno tidak suka. Inilah yang mempertajam konfrontasi. Maklum, selain sedang dilanda gelombang anti-Barat, kita masih mencurigai Inggris. Bung Karno menghendaki agar pemerintah Malaya tidak memberi izin kepada Inggris membangun pangkalannya di sana. Tetapi pemerintah Malaya mempertahankannya. Kata Pemerintah Malaya, "Apa sih Indonesia maunya? Kalau Inggris keluar dari sini, saya harus menghadapi kaum komunis Cina. Indonesia enak. Kaum komunisnya orang Indonesia sendiri." Bung Karno tidak menerima alasan tersebut.

Hubungan Indonesia-Malaya pun semakin runcing. Saya dipanggil pulang dan didudukkan menjadi Penasihat Presiden untuk urusan konfrontasi. Praktis, saya menjadi Dubes di Malaya hanya kira-kira 100 hari. Sebagai penasihat, saya mencoba menyadarkan Bung Karno bahwa desakannya--agar Malaya mengusir Inggris--momentumnya tidak tepat. Kalau dipaksakan justru akan menyulitkan Malaya karena persoalan komunis Cina itu. Di tengah suasana runcing itu datang Jaksa Agung Amerika Bob Kennedy, adik Presiden Amerika Robert Kennedy. Bob menyarankan agar Bung Karno membubarkan Dwikora dan mengadakan gencatan senjata. Bung Karno segera mengadakan sidang, dihadiri para menteri Kabinet Dwikora, membahas saran Bob itu. Saya juga hadir. "Bagaimana pendapat saudara-saudara?" kata Bung Karno. Saya memberikan pendapat: "Katanya kita ini tidak perang dengan Malaya. Mengapa sekarang kita akan mengadakan cease-fire? Artinya, kita mengakui perang dengan Malaya?" Bung Karno menggebrak meja. Brak! Pokoknya, saya perintahkan cease-fire (gencatan senjata).

Menjelang meletusnya G30S-PKI, Bung Karno memang sudah menunjukkan sikap yang cenderung keras, ingin selalu didengar. Fisiknya sudah tidak baik. Sepuluh hari setelah peristiwa G30S-PKI, saya berangkat ke Kerajaan Maroko sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh. Saya tidak tahu persis kejadian-kejadian yang berkaitan dengan G30S-PKI. Selama di Maroko saya tidak banyak tahu perkembangan Indonesia. Rakyat Maroko, sepengetahuan saya, tidak mengikuti perkembangan terakhir di Indonesia. Mereka tidak mengikuti peristiwa G30S-PKI dan pergantian kehasaan yang terjadi--saya tidak mau mengatakan Bung Karno jatuh atau dijatuhkan. Walaupun di sana ada taman yang bernama Sukamo. Jadi sebenamya negeri kita dikenal di sana. Sebab, ketika Maroko baru saja merdeka, yang membiayai perjuangannya di PBB adalah Indonesia. Saya hanya setahun di Maroko - Duta Besar. Kemudian pindah ke Prancis - Duta Besar RI berkuasa penuh untuk Prancis merangkap Duta Besar RI berkuasa penuh untuk Kerajaan Spanyol, merangkap Kepala Perwakilan tetap RI pada markas besar United Nation Educational, Scentific, and Cultural Organization (UNESCO) di Paris. Tugas Duta Besar waktu itu sangat berat, karena negara baru dilanda krisis politik. Peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Dari Presiden Soekarno kepada Presiden Suharto.

Selanjutnya, sebagai purnawirawan, saya menjadi anggota Penqurus Besar Persatuan Pumawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri) dari 1970- 978. Lalu, dari 1978-1983 menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Zaman Bisnis BERSAMAAN waktunya ketika saya diangkat menjadi anggota DPA, Pak Harto meminta saya untuk duduk di Tim P-7, sampai sekarang. Siapa bilang tim ini tidak penting? Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Tim P-7) adalah satu-satunya lembaga yang bisa omong dengan bebas dengan Presiden. Siapa yang bisa bicara blak-biakan dengan Pak Harto selain Tim P-7? Siapa? Apa ada menteri yang berani blak-blakan? Ora wani--tak berani. Secara rutin Tim P-7 sekali dua bulan atau sekali tiga bulan berbicara dengan Pak Harto. Setiap kali pertemuan berlangsung rata-rata sekitar satu setengah jam. Apa yang dibicarakan, itu rahasia kami.

Selain di Tim P-7, saya menjalankan apa saja yang mau saya jalankan. Bisnis. Sekarang ini orang kan harus bisnis. Sekarang ini zaman economic built up. Saya bergerak di bidang apa saja. Macam-macam. Bidang pariwisita, perkayuan, bidang pendidikan teknik dan teknologi, dan bidang teknik sipil. Saya ini kan pernah menjadi Direktur Zeni, Menteri Pariwisata, dan Telekomunikasi. Sekolah saya teknik sipil. Nah, sekarang bagaimana memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman itu untuk berbisnis membantu terciptanya economic built up. Dulu, sebagai anggota DPA, kita tidak boleh bisnis. Sekarang saya bukan DPA lagi. Maka apa salahnya saya menjalankan bisnis? Pensiun jenderal tidak cukup. Cuma Rp 300 ribu.
Sumber CV Djatikusumo: Solichin Salam


ANAK-ANAK DIDIK DJATIKUSUMO di PASUKAN T RONGGOLAWE/PASUKAN T SAD

Anggota Pasukan T Ronggolawe yang gugur pada perang kemerdekaan :

Soekandar, 21 tahun
Gugur ditembak di jembatan bengawan solo di cepu dalam pertempuran di Cepu antara batalyon Ronggolawe melawan pasukan-pasukan PKI yang lebih besar, Oktober 1948. Dimakamkan di TMP Cepu.

Hadi Tjahjono, 23 tahun
Gugur waktu menjabat wedana militer jakenan. Ia disergap dan ditembak pasukan Belanda di Kecamatan Puncakwangi, Kabupaten Pati. Dimakamkan di TMP Semaki Yogya.

Soewarsono, 21 tahun
Gugur sewaktu menjabat wedana militer kayen Januari 1949 dimakamkan di TMP Pati.

Kisbandi, 20 tahun
Tertembak sewaktu pertempuran dengan patroli anjing Nica di dekat Salman Magelang Januari 1949. Dimakamkan di TMP Girilaya Magelang.

Waluyo Hadisaputro, 20 tahun.
Ditembak Belanda di tepi Kali Progo, dekat jembatan Plikon, Megelang. Jenazahnya tidak ditemukan dan menjadi rahasia deru air Kali Progo.

Harsono, 20 tahun.
Ditembak patroli anjing Nica di dekat Desa Nganti sebelah timur kota Magelang. Dimakamkan di TMP Girilaya Magelang.

Perjalanan Anggota Pasukan T Ronggolawe yang tidak gugur pada perang kemerdekaan, antara lain:

Ir. Hermawan Kartowisastro
Lahir 8 April 1930 di Semarang. Sebagai pelajar Angkatan Perang menyelesaikan studi dalam jurusan Bangunan Mesin (S1) di University of Birmingham Inggris tahun 1957, untuk kemudian bertugas di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Selesai pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL) Angkatan VIII tahun 1971, ditugaskan di perusahaan dok dan galangan kapal PT. Pelita Bahari Persero, sebagai pimpinannya. Perusahaan ini pada tahun 1980 menjadi galangan kapal yang termodern dan memelopori pembangunan kapal dengan sistem blok di Indonesia.

Aman Suyitno, BA, Kol. CPM (purn)
Lahir 25 Desember 1927 di Kendal. Melanjutkan kariernya di Kepolisian Militer, dengan penugasan di luar jawa, antara lain di Sulawesi Selatan. Kemudian menjelang pensiunnya pada tahun 1983, di tugaskaryakan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rinto Suleiman, Kol. Kav (purn)
Lahir 17 Juni 1930 di Lhoksumawe. Menyelesaikan pendidikan militernya di Koninklijke Militaire Akademie (KMA), Breda Negeri Belanda, dalam kesenjataan kaveleri, lulus tahun 1995. Rinto Suleiman pada tahun 1963 menjadi anggota Kontingen Indonesia Garuda II, ke Kongo, dan pada tahun 1968-1971 menjadi Liason Officer RI untuk Kucing, Serawak di Malaysia.

Soewondo, SH, Kol. CKH (purn)
Lahir 1 November 1928. Melanjutkan kariernya di Angkatan Darat, Soewondo mengikuti pendidikan pada Akademi Hukum Militer (AHM), untuk kemudian menyelesaikan studi kesarjanaan (SH) pada Universitas Diponegoro (Undip). Jabatan terakhir yang dipegang adalah Inspektur Jenderal Departemen Pertanian RI tahun 1983 -1988.

Kartono S. Hamidjojo, Kol. Art (purn)
Lahir 11 November 1929. Melanjutkan karier di bidang militer melalui pendidikan di Sekolah calon perwira artileri di Cimahi tahun 1952, dilanjutkan ke Scholl of Artillery, Sydney Australia tahun 1963. Pada tahun 1968 beralih tugas ke bidang non militer di lingkungan Sekretariat Negara/Menko Kesra, hingga pensiun tahun 1990.

dr. Susilo Wibowo, Marsma TNI (purn)
Lahir 30 Desember 1930. Menyelesaikan studinya sebagai dokter di Universitas Indonesia pada tahun 1960. Menjadi dokter AURI dan mengkhususkan dalam “Aerospce Medicine” di Leningrad Rusia, pada tahun 1964 dan kemudian menjadi Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, tahun 1978. Setelah pensiun tahun 1985, menggeluti masalah Gerontologi.

Susatmoko
Lahir 27 Mei 1926 di Tegal. Meniti karir di Pertamina sejak tahun 1995. Susatmoko menyelesaikan pendidikan Ahli Minyak pada tahun 1985. Bertugas di instalasi perminyakan Pertamina di berbagai tempat dan sebelum pensiun tahun 1987, menjabat sebagai Kepala Pabrik Aspal, Unit Pengolahan Pertamina di Wonokromo.

Prof. Dr. Kardono Darmoyuwono
Lahir 25 Oktober 1928. Menyelesaikan studinya di jurusan geografi, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1957. Membaktikan dirinya di UGM dan diangkat sebagai Dekan Fakultas Geografi UGM tahun 1971-1975. Kardono adalah juga Deputi Ketua Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) tahun 1970-1984.

Prof. Dr. Setijadi (Nong)
Lahir 18 April 1929. Setelah lulus tahun 1950 didemobilisasi, melanjutkan di Universitas Gadjah Mada (UGM), di bidang Paedagogi dan menyelesikan studinya S3 pada Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat, pada tahun 1964. Setelah menjabat Kepala Badan Litbang Depdikbud, Setiadi ditugaskan untuk merintis mendirikan Universitas Terbuka (UT). Dari tahun 1984-1992 ia menjabat rektor pertama (founding rector) Universitas Terbuka.

Prof. Suwondo B. Sutedjo, Dipl. Ing
Lahir 2 Juni 1928 di Pekalongan. Setelah tahun 1950 ia melanjutkan studinya di Technische Hogeschool di Delf, Nederland, jurusan Bouwkunde (Arsitektur) dan karena ada gejolak politik pada waktu itu, ia terpaksa pindah ke Jerman dan menyelesaikan studinya (Dipl. Ing) pada Technische Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia Bismo dikenal sebagai Suwondo B. Sutedjo, mengajar di Institute Teknologi Bandung (ITB) dan kemudian pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Dari tahun 1972-1978 menjadi ketua jurusan Arsitektur dan kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (1974-1978).

Mardiono, Laksda TNI (purn)
Lahir 27 November 1927 di Bogor. Pada tahun 1947, Mardiono bersama Sularso dan Rochani Syamsudin ditangkap Belanda sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia mendaftarkan diri pada Institute Angkatan Laut, Morokrembangan Surabaya sebagai kadet pelaut Angkatan ke 2. Pada tahun 1961 ia dikirim ke Vladivostok, Rusia, untuk mengikuti pendidikan kapal selam. Pada tahun 1962, masa TRIKORA, dengan kapal selam "Tjandrasa" yang ia komandoi, ia berhasil memasuki teluk tanah merah, barat laut kota Holandia (Jayapura sekarang), untuk mendaratkan sepasukan RPKAD. Atas keberhasilan operasi yang penuh resiko itu, Mardiono dan seluruh ABK KS "Tjandrasa" dianugerahi Bintang Sakti oleh Negara. Pada tahun 1963 ia mengikuti SESKO AL di Leningrad Rusia. Dari tahun 1974-1976 ia menjabat komandan Eskader, untuk kemudian menjadi Gubernur AKABRI bagian laut 1977-1983.

Sudharmono, SH, Letjen TNI (purn)
Lahir 12 Maret 1927 di Cerme Gresik. Sudharmono menempuh Pendidikannya dari SD, SMP, SLTA, Akademi Hukum Militer (1956) dan Perguruan Tinggi Hukum Militer (lulus tahun 1962) serta SESKOAD. Kariernya dimulai dengan Komandan Pasukan T SAD ( ex Divisi Ronggolawe) (Clash ke-2 1949), Perwira Staf Pusdik Perwira AD (1950-1952), Jaksa Tentara, merangkap Perwira Staf Penguasa Perang Pusat, Medan (1957-1961), Jaksa Tentara Tinggi, merangkap Perwira Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Asisten Bidang Sosial Sekretariat Pembantu Pimpinan Revolusi, Wakil Ketua II Gabungan 5 Koti, Ketua Tim Penertiban Personil Pusat (1962-1966), Sekretaris Kabinet, merangkap Sekretaris Dewan Stabilisasi Ekonomi (1966-1972), Menteri Sekretaris Negara (1973-1988), Wakil Presiden RI (1988-1993). Sudharmono meninggal dunia pada tanggal 25 Januari 2006 pukul 19.40 setelah menjalani perawatan selama dua pekan di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Jakarta akibat infeksi paru-paru dan komplikasi penyakit lain. Jenazahnya dimakamkan sekitar pukul 10.00 pada hari Kamis 26 Januari 2006 di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan

Drs. Adiwoso (Peppy) Abubakar
Lahir 15 Agustus 1925 di Semarang. Pada tahun 1947, sewaktu Pasukan T Ronggolawe resmi di bentuk di Cepu, Peppy Adiwoso ditunjuk sebagai Komandan Pasukan T Ronggolawe. Setelah tahun 1950 ia menyelesaikan studinya di Akademi Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dan selanjutnya berkarier di Departemen Luar Negeri. Jabatan-jabatan penting sebelum ia pensiun, antara lain: Dubes RI di Brazil, Dirjen Sekretariat Nasional ASEAN, DUBES RI untuk Kanada.

Soesatijo (Lippy)
Lahir 29 Juli 1925. Selesai latihan Opsir Tjadangan di Salatiga (1946), pada tahun 1947 ia mendaftarkan diri ke AURI untuk menjadi penerbang. Akhir tahun 1947, bersama 20 kader AURI lainnya diterbangkan ke India dengan RI-002, dengan pilot Bob Freeberg, co-pilot Petit Moeharto dan telegrafis Budiardjo, tetapi karena cuaca terpaksa mendarat di Changi Singapore. Para calon penerbang baru sampai ke India pada bulan Mei 1948. Lippy dan 3 kadet penerbang lainnya dipilih dan ditarik ke Birma untuk menjadi pilot Indonesian Airways dan langsung menerbangkan Dakota RI-001 Seulawah. Lippy baru kembali ke Indonesia tahun 1950 setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan langsung masuk skwadron bomber B-25 AURI untuk terbang operasi. Tahun 1954 pindah ke penerbangan sipil sebagai pilot instruktur/Captain Dakota bangsa Indonesia yang pertama di Sekolah Penerbangan Curug.

dr. R Sunaryo, Marsda (purn)
Lahir 4 September 1925 di Magelang. Pada akhir 1947, sewaktu masih bertugas di Divisi Ronggolawe, Sunaryo dipanggil ke Yogya dan diperbantukan kepada AURI, dalam rangka tugas penyelundupan ke luar negeri. Ia sempat terdampar di Singapura. Menyelundup kembali ke Sumatera, kemudian oleh pimpinan AURI di ACEH diangkat menjadi OMU-1 (Opsir Muda Udara). Pada 1949 ia kembali ke Jawa, membantu Local Joint Committee (JLC). Lulus dokter dari Universitas Indonesia tahun 1956 dan menjadi dokter pangkalan AU di Kalijati Malang dan Jakarta. Jabatan sebelum pensiun: Direktur Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra), Kapuslitbang AU, Kapuslitbang Hankam dan Direktur Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Slamet (Gebod) Danusudirdjo, Mayjen TNI (purn)
Lahir 4 April 1925. Melanjutkan kariernya di Angkatan Darat. Tahun 1950 ia dikirim ke Belanda untuk mengikuti pendidikan pada sekolah infanteri dan artileri, kemudian dilanjutkan pada Ecole d"Aartillerie Anti Airienne (Sekolah Artileri Pertahanan Udara) di Lombardzyde Belgia. Pendidikan Sesko ditempuh pada Woyena Akademia M.W.Frunze, Moskwa Uni Soviet pada tahun 1963. Pernah menjabat antara lain: Dirjen Bea Cukai Departemen Keuangan RI 1972, Ketua Team Walisongo, Sekjen Dephub RI tahun 1973-1976, Deputy Ketua Bappenas, Anggota DPA tahun 1983-1988 dan Rektor Institute Kesenian Jakarta (IKJ). Slamet Danudirdjo juga seorang penulis novel dengan nama samaran Pandir Kelana. Novelnya antara lain: Kadarwati; Ibu Sinder; Suro Buldog; Kereta Api Terakhir, ada beberapa diantaranya telah dibuat film.

Soelarso, Mayjen TNI (purn)
Lahir 11 April 1929 di Semarang. Tahun 1947 bersama Mardiono dan Rochani Syamsudin ditangkap Belanda waktu bertugas combat intelegence di Demak. Dibebaskan dari Penjara Nusakambangan Desember 1949 berdasarkan kelanjutan hasil Konferensi Meja Bundar. Sularso melanjutkan karier militernya, masuk ke Koninklijke Militaire Akademie (KMA) di Breda Nederland taman 1954. Jabatan yang pernah di emban: Atase Militer RI di Moskow (1971-1974), Pangdam III/17 Agustus (1979-1981) dan Pangdam V/Brawjijaya (1983-1985), AsPam Kasad, dan kemudian Gubernur KDH Jawa Timur dan Duta Besar RI di Ankara, Turki.

Rochani (Hanny) Syamsudin, SH, Kol. Inf. (purn)
Pada tahun 1947, Hanny bersama Sularso dan Mardiono ditangkap Belanda sewaktu bertugas combat intelligence di daerah Demak. Sebagai hasil kelanjutan Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, mereka dibebaskan dari penjara Nusakambangan. Setelah menamatkan SMA, ia melanjutkan pendidikan perwira di Pusat Infanteri dan kemudian menjadi guru/instruktur di pusat infanteri itu. Ia berhasil meraih gelar kesarjanaannya di Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM). Pada tahun 1970, Hanny di karyakan ke Departemen Pariwisata dan sebelum pensiun menjabat Ka Kanwil Pariwisata DI Yogyakarta.

Hardijono, Brigjen TNI (purn)
Lahir 7 Desember 1929 di Kendal. Melanjutkan karier militer di Angkatan Darat. Di didik menjadi perwira ahli radar dan fire control di Akademi Teknik Artileri Pertahanan Udara di Leningrad, Rusia (1962-1963). Menjabat Asisten Direktur Research dan Pengujian Materiel (Resumat) Angkatan Darat, Atase Militer RI di Paris (1971-1974), Kepala Pusat Pengolahan Data Hankam (1983-1985) dan jabatan terakhir sebelum pensiun, Kepala Badan Pengembangan Industri dan Teknologi (BPPIT) Hankam (1983-1988)

Slamet Sukardi, Mayjen Pol (purn)
Lahir 14 Mei 1927 di Purwokerto. Setelah tahun 1950, mengawali karier di Kepolisian RI melalui pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), taman tahun 1953. Mengikuti pelatihan Company Advance Course di Front Benning USA. Jabatan terakhir: Komandan Jenderal Komando Logistik (Danjen Kolog).

Soejitno Soetopo, Brigjen TNI (purn)
Lahir 21 September 1926. Pada waktu Pasukan T Ronggolawe dibentuk tahun 1947, Soejitno diangkat menjadi wakil komandan Pasukan T Ronggolawe. Setelah tahun 1950 meniti karier di kesenjataan Zeni Angkatan Darat. Menjadi Atase Pertahanan RI di Manila, Filipina (1971-1974), Direktur Pendidikan di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) (1975-1981), dan kemudian diangkat menjadi Deputi Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 1981-1986.

Krishnamurti Samil
Lahir 3 September 1928 di Tanjungkarang. Setelah tahun 1950 ia meniti karie di bidang sipil. Pada tahun 1978-1988 ia menjabat Sekretaris Menteri/Sekretaris Negara. Kemudian pada tahun 1988 dianggkat sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk masa jabatan lima tahun.

Entjung Abdullah Sadjadi, Brigjen TNI (purn)
Lahir 31 Juli 1929. Setelah latihan opsir cadangan salatiga (1946), ia menjadi komandan TP Purowokerto, Batalyon 400. Setelah tahun 1950 melanjutkan kariernya di TNI Angkatan Darat, khususnya di bidang penerangan. Jabatan terakhir: Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Hankam (1983).

Ismail Saleh, SH Letjen TNI (purn)
Lahir di Pati, Jawa Tengah, 7 September 1926. Setelah lulus HIS tahun 1941, Ismail masuk ke Sekolah Menengah Pertanian. Kemudian melanjutkan ke SMA dan tamat tahun 1950. Setelah itu ia masuk Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum Militer. Ismail mengawali karirnya sebagai anggota Intel Tentara Divisi III, Yogyakarta, anggota Pasukan Ronggolawe Divisi V di Pati dan Wonosobo (1948-1949), Direktorat Kehakiman Angkatan Darat (1952), Perwira Penasihat Hukum Resimen 16, Kediri (1957-1958), Jaksa Tentara di Surabaya (1959-1960), Jaksa Tentara Pengadilan Tentara Daerah Pertempuran Indonesia Timur dan Manado (1960-1962), Oditur Direktorat Kehakiman AD (1962), dan Perwira Menengah Inspektorat Kehakiman AD (1964-1965).Sekretariat Presidium Kabinet (1967-1968).Wakil Sekretaris Kabinet/Asisten Sekneg Urusan Administrasi Pemerintahan (1972). Sekretaris Kabinet (1978). Direktur LKBN Antara (1976-1979).Pj. Ketua BKPM, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (1979-1981)Jaksa Agung (1983-1988). Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Meninggal dunia Selasa malam (21 Oktober 2008), pukul 22.30 WIB di RSCM Jakarta dalam usia 82 tahun, karena sakit.




Sumber :